Berdasarkan pada latar
belakang muncul dan perkembangan
Bimbingan dan Konseling tersebut,
dewasa ini muncul istilah comprehensive school guidance and counseling sebagai
kerangka kerja utuh
yang harus dipahami
oleh tenaga‐tenaga ahli
di bidang BK (Gysbers & Henderson, 2006; Ming, et.
al., 2004; Bowers & Hatch, 2000). Berikut lima premis dasar yang menegaskan
istilah tersebut (Gysbers & Henderson, 2006);
1. Tujuan BK bersifat kompatibel dengan tujuan pendidikan. Artinya; dalam
pendidikan ada standar
dan kompetensi tertentu
yang harus dicapai
oleh siswa. Oleh karena itu, segala
aktivitas dan proses dalam layanan BK harus diarahkan pada upaya
membantu siswa dalam pencapaian standar kompetensi dimaksud.
2. Program BK bersifat pengembangan
(based on developmental approach), yakni;
meskipun seorang konselor dimungkinkan untuk mengatasi problem dan
kebutuhan psikologis yang bersifat krisis dan klinis, pada dasarnya fokus
layanan BK lebih diarahkan pada usaha memfasilitasi pengalaman‐pengalaman
belajar tertentu yang
membantu siswa untuk
tumbuh, berkembang, dan menjadi pribadi yang mandiri.
3. Program BK melibatkan kolaborasi
antar staff (teambuilding approach), yaitu program bimbingan dan konseling
yang bersifat komprehensif bersandar pada asumsi bahwa tanggung jawab kegiatan
bimbingan melibatkan seluruh personalia yang ada di sekolah dengan sentral
koordinasi dan tanggung jawab ada di tangan konselor yang bersertifikasi
(certified counselors). Konselor tidak hanya menyediakan layanan langsung untuk
siswa, melainkan juga bekerja secara
konsultatif dan kolaboratif
dengan tim bimbingan
yang lain, staf personel sekolah yang lain (guru dan
tenaga administrasi), bahkan orangtua dan masyarakat.
4. Program BK dikembangkan melalui
serangkaian proses sistematis sejak dari perencanaan, desain, implementasi,
evaluasi, dan keberlanjutan. Melalui penerapan
fungsi‐fungsi
manajemen tersebut diharapkan
kegiatan dan layanan BK dapat
diselenggarakan secara tepat sasaran dan terukur.
5. Program BK ditopang oleh
kepemimpinan yang kokoh. Faktor kepemimpinan ini diharapkan dapat menjamin
akuntabilitas dan pencapaian kinerja program BK
Bowers dan Hatch (2000, 11) bahkan menegaskan bahwa program bimbingan
dan konseling sekolah
tidak hanya bersifat
komprehensif dalam ruang
lingkup, namun juga harus bersifat preventif dalam disain, dan bersifat
pengembangan dalam tujuannya (comprehensive in scope, preventive in design, and
developmental in nature).
Pertama, bersifat
komprehensif berarti program BK harus mampu memfasilitasi capaian‐capaian perkembangan
psikologis siswa dalam
totalitas aspek bimbingan (baik pribadi‐sosial,
akademik, dan karir). Layanan yang diberikan pun tidak hanya terbatas pada
siswa dengan karakter dan motivasi unggul serta siap belajar saja. Layanan BK ditujukan
untuk seluruh siswa tanpa
syarat apapun. Dengan harapan, setiap siswa dapat menggapai sukses
di sekolah dan menunjukkan kontribusi nyata dalam masyarakat.
Kedua, bersifat
preventif dalam disain mengandung arti bahwa pada dasarnya tujuan pengembangan
program BK di sekolah hendaknya
dilakukan dalam bentuk yang bersifat preventif. Upaya
pencegahan dan antisipasi sedini mungkin (prevention education) hendaknya
menjadi semangat utama yang terkandung
dalam kurikulum bimbingan yang diterapkan di sekolah (kegiatan klasikal).
Melalui cara yang preventif tersebut diharapkan siswa mampu memilah sikap dan
tindakan yang tepat dan mendukung pencapaian perkembangan psikologis ke arah
yang ideal dan positif. Beberapa program yang dapat dikembangkan seperti
pendidikan multikultarisme dan antikekerasan,
mengembangkan keterampilan resolusi
konflik, pendidikan seksualitas, kesehatan reproduksi, dan lain‐lain.
Ketiga, bersifat
pengembangan dalam tujuan
didasari oleh fakta
di lapangan bahwa layanan
bimbingan dan konseling sekolah selama ini justru kontraproduktif terhadap
perkembangan siswa itu sendiri. Kegiatan layanan bimbingan dan konseling
sekolah yang berkembang di Indonesia selama ini lebih terfokus pada kegiatan‐
kegiatan yang bersifat
administratif dan klerikal
(Kartadinata, 2003), seperti mengelola kehadiran
dan ketidakhadiran siswa,
mengenakan sanksi disiplin
pada siswa yang terlambat dan dianggap nakal. Dengan demikian, wajar
apabila dalam masyarakat dan bagi siswa‐siswa sendiri guru
bimbingan dan konseling distigmakan sebagai
polisi sekolah. Konsekuensi
kenyataan ini, pada
akhirnya menyebabkan layanan
bimbingan dan konseling yang diselenggarakan di sekolah akhirnya terjebak dalam
pendekatan tradisional dan intervensi psikologis yang berorientasi pada
paradigma intrapsikis dan sindrom klinis.
Pendekatan dan tujuan layanan bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan
perilaku menyimpang (maladaptive behavior) dan bagaimana mencegah penyimpangan
perilaku tersebut, melainkan juga berurusan dengan pengembangan perilaku
efektif (Kartadinata, 1999; Kartadinata, 2003; Galassi & Akos, 2004). Sudut
pandang perkembangan ini
mengandung implikasi luas
bahwa pengembangan perilaku yang
sehat dan efektif
harus dapat dicapai
oleh setiap individu dalam
konteks lingkungannya masing‐masing. Dengan demikian, bimbingan dan
konseling seharusnya perlu diarahkan pada upaya memfasilitasi individu
agar menjadi lebih sadar terhadap dirinya, terampil dalam merespon
lingkungan, serta mampu mengembangkan diri
menjadi pribadi yang
bermakna dan berorientasi ke depan (Kartadinata, 1999; Kartadinata,
2003).
No comments:
Post a Comment