Berada
di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah.
Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang.
Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan
julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di
negara itu.
Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1995.
Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.
Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.
Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.
Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.
Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.
Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1995.
Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.
Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.
Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.
Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.
Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.
Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
No comments:
Post a Comment