Mar 27, 2016

Cara Sakral Peluncuran Perahu Kerajaan Bone Zaman Dahulu.

Setiap tahun pada Jubelium Ratu Kerajaan Belanda Wilhelmina, Penguasa Hindia Belanda di Sulawesi yang berkedudukan di Makassar, selalu mengagendakan upacara perjamuan untuk seluruh pimpinan kerajaan sekutu Hindia Belanda di Sulawesi. Acara itu dirangkaikan dengan paradepasukan utusan kerajaan di dalam Fort Rotterdam, tempat Gubernur Hindia Belanda Braam van Morris tinggal. Biasanya setiap kerajaan besar yang terikat dalam persekutuan Bondgenoots (persekutuan dengan Pemerintah Hindia Belanda) dengan penguasa Belanda berdasarkan perjanjian Bongayya serta Vorte Verklering (perjanjian pendek ) diundang wakilnya untuk mengikuti upacara selain dua peleton pasukan untuk mengikuti parade. Pada upacara saat itu, pasukan kerajaan Bone pun mendapat undangan ke Makassar mengikuti upacara. Untuk menghormati persekutuan kerajaan Bone dan penguasa Hindia Belanda, seperti tahun – tahun sebelumnya, Arumpone menyatakan kesediaanya mengirim utusan dan pasukan mengikuti upacara dan parade. Setiap tahun Kerajaan Bone memang mengirim dua peleton pasukan regular untuk mengikuti upacara.

Saat itu , rombongan pasukan kerajaan Bone, dipimpin oleh tomarilaleng ( wakil raja untuk untuk urusan istana)  mewakili Arumpone. Tomarilaleng adalah pejabat dalam kerajaan yang dihormati seperti Arumpone. Jabatannya adalah penasehat utama raja dan dapat mewakili kerajaan Bone untuk memutuskan pelanggaran adat atau panngadereng . Tomarilaleng berfungsi juga sebagai Petta Pabbicara ( Hakim Kerajaan) yang bertindak sebagai hakim agung. Ia biasa dibantu oleh beberapa pejabat lain memberikan pertimbangan putusan hukum yang tepat dan betul – betul di rasakan adil. Dia pejabat dianggap paling bijak dalam kerajaan. Tomarilaleng adalah pejabat yang harus menguasai dirinya dan bertindak adil dan berimbang  dalam memutuskan sebuah perkara, adil tanpa pandang bulu. Ia harus mengesampingkan permasalah pribadi dalam mengambil keputusan. Sebagai Petta Pabbicarae, ia juga diberikan wewenang untuk memberikan nasihat kepada raja agar dalam mengambil sebuah keputusan tidak hanya berdasarkan emosi jika sedang murka. Tomarilaleng juga harus memperhatikan kehidupan kenegaraan, penerapan agama yang dianut oleh kerajaan dan membimbing rakyat untuk sama – sama mematuhi pangngadereng. Saat itu Pette Sele sebagai anakarung, yang ditugaskan menyertai Tomarilaleng mengikuti Jubilium Ratu Kerajaan Belanda.
Pasukan yang ikut parade hanya berkekuatan lima puluh orang. Tetapi pakaian pasukan telah disiapkan berbulan – bulan sebelumnya. Pasukan kerajaan Bone menggunakan dua seragam, hitam dan kuning untuk baju dan celana sebatas lutut. Hitam simbol kekukuhan dan kuning simbol angin. Tomarilaleng dan Petta Sele dan tiga anakarung memakai songkok yang dililit garis emas ( songkok recca). Pasukan Bone yang muda – muda memakai passapu, selempang hitam dari pundak sampai ke perut bersulam emas berwarna emas.



Perahu Phinis Pallari yang akan digunakan utusan kerajaan Bone tidak boleh kalah megah dari perahu – perahu kerajaan lain yang akan mengikuti parade. Perahu tersebut dibuat oleh panre lopi ( ahli pembuat perahu) yang didatangkan dari daerah Bulukumba, hanya dalam waktu tiga bulan proses pembuatannya, perahu itu sudah haruskan diluncurkan. Karena itu, panre lopi dari Bulukumba bekerja keras agar perahu tersebut selesai pada waktu yang telah ditentukan dan menghasilkan perahu yang megah. Semalam Petta Sele ikut menghadiri upacara yang diselenggarakan oleh tukang dan nahkoda serta sawi perahu itu dibantilang ( galangan kapal) Pantai Bajoe tempat pembuatan perahu. Acara ini dimaksudkan untuk memberikan sesaji kepada Tautenrita (mahluk halus kasat mata ) penghuni perahu itu dan perjamuan kepada para tukang yang membuat perahu. Sesajian yang disediakan adalah nasi yang dibungkus dalam wadah daun pisang yang dilipat dalam bentuk segitiga. Begiitupula daun sirih yang dilipat kecil  juga yang berbentuk segitiga. Bette ( beras pangan ekstra) adalah beras yang yang digoreng tanpa minyak dan ditubuh halus. Selain Bette ada juga Baje ( wajit ) setandan pisang dan dua buah kelapa. Seorang imam dari masjid untuk membacakan doa yang diperuntukkan kepad Nabi Haidir , nabi yang menguasai lautan yang dipercaya bisa berjalan di atas ombak. Upacara sesajian ini melambangkan kepasrahan manusia kepada sang penguasa laut.

Selesai, upacara, keesokan harinya dipagi buta selepas shalat subuh, Petta Sele juga harus hadir untuk memimpin pelunjuran perahu dari bantilan ke bibir pantai. Ratusan penduduk, dewasa dan anak – anak, laki – laki dan perempuan, bapak – bapak dan ibu – ibu serta orang yang mengikuti upacara pada malam hari sebelumnya menyaksikan peluncuran perahu yang baru selesai. Ketika kayu peluncur yang sudah dipasang di bawah perahu dan puluhan laki – laki kuat  yang akan mendorong dan menjaga keseimbangan sudah siap di posisi di buritan dan samping kiri dan kanan perahu, Pette Sele yang memimpin peluncuran tersebut memberikan aba- aba “samaratanna Hellallah , Samaratanallah Hellallah”.
Aba – aba ini diteriakkan dengan lantang dan nyaring berulang – ulang seperti komando dan laki – laki yang diikuti oleh semua laki – laki yang ikut mendorong perahu ke bibir pantai. Sedepa demi sedepa perahu bergerak mendekati bibir pantai. Aba – aba dengan teriakan yang lantang “ Samaratanna Hellallah” yang berirama terus berkumandang mengusik burung – burung pagi. Aba – aba itu dimaksudkan untuk membuat pemusatan tenaga yang serentak dan merata menjadi satuan energi untuk mendorong perahu itu bergerak. Setiap aba – aba yang diteriakan harus diulang lagi oleh semua lelaki dewasa yang ikut mendorong perahu, bahkan anak – anak kecil yang datang meramaikan di tepi pantai. Perahu bergerak maju, Sedikit demi sedikit mendekati bibir pantai . Puncaknya ketika perahu sedang mengapung di atas air, teriakan kegembiraan dan sorakan anak – anak dan perempuan yang turut memberi semangar menjadi riuh gegap gempita. Pekerjaan berikutnya adalah memasang guling (kemudi) dan pallajareng ( tiang layar ) .  Akhir dari proses pengapungan ini, kepala tukang menghampiri Petta Sele dan menyerahkan sebilah kayu sisa pahatan pertama yang bernama kalabiseang, pertanda selesainya tugas tukang dan rasa puas mereka atas perlakuan pemesaan selama mereka mengerjakan perahu tersebut. Biasanya tukang merasa dikecewakan oleh pemesan, sisa pahatan kalabiseang tidak akan diserahkan kepada pemesannya, kendati perahu sudah selesai dan bisa berlayar. Ini menjadi pertanda , pemilik perahu bakal tidak akan mengenyam hasil usaha menguntung dari perahu tersebut. Karena tukang yang dianggap  sebagai ibu dari perahu itu. Karena tukang yang dianggap sebagai ibu yang melahirkan perahu tersebut tidak merelakan kelahiran anaknya. digunakan pemesan. Jika demikian konon terjadi peristiwa – peristiwa aneh, misalnya perahu sangat berat untuk diapungkan, kendati sudah mengerahkan ratusan tenaga manusia mendorongnya. Dan jika pun berhasil diapungkan, perahu itu kemungkinan akan tenggelam diperjalanan atau kelak perahu itu akan susah mendapat muatan pada setiap dermaga yang disinggahi. Ini semua kepercayaan para panrita lopi yang ditaati pemesan.Matahari sudah merekah, Ketika Petta Sele, meninggalkan pantai kembali ke rumah.
logoblog

No comments:

Post a Comment