Dec 30, 2022

Asal Mula Kerajaan Bulungan

Kesultanan Bulungan atau Bulongan berdiri pada tahun 1731 hingga tahun 1777 dengan raja pertama bernama Wira Amir, yang bergelar Amiril Mukminin dan, Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras yang bergelar, Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin tahun 1931 hingga tahun 1958. Negeri Bulungan adalah bekas daerah milik Kesultanan Berau yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC Belanda dianggap sebagai bagian dari Kesultanan Berau. Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, Kota Tarakan, Tawau, Kalabakan, dan sebagian Semporna Sabah sekarang. Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang ada secara turun-temurun dalam masyarakat. Bulungan berasal dari perkataan Bulu Tengon yang artinya bambu betulan Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Berikut ini adalah kisah awal mula Kerajaan Bulungan.
 

Sumber:youtube
Tersebutlah Kwanyi. Kwanyi adalah seorang pemimpin suku Dayak Hupan, atau Dayak Kayan di masa itu. Dia bersama dengan kurang lebih 80 jiwa mendiami sebuah perkampungan di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Tetapi karena kehidupan ditempat tersebut kurang baik maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar, yang bernama Sungai Kayan. Suatu hari, Kwanyi pergi berburu ke hutan tetapi setelah begitu lama memasuki hutan, tidak seekor buruan pun yang dia dapat akan tetapi, di dalam hutan Kwanyi mendapat seruas bambu besar yang biasa disebut bambu betung. Karena bentuknya tidak seperti ruas bambu betung biasanya. Sehingga bambu tersebut diambil, dan dan dibawanya pulang.  Tak lama, Kwanyi pun kembali mendapat sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu.  Telur tersebut pun, diambil dan dibawanya pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah hal aneh terjadi . Dari bambu yang di bawa Kwanyi tersebut, keluarlah seorang anak laki-laki. Hal tersebut tentu saja membuat Kwanyi dan isterinya sanggat terkejut dan bercampur bahagia. Hal aneh tak berhenti pada bambu namun, telur yang dia bawa setelah di pecah, ke luar seorang anak perempuan. 

Kebahagiaan Kwanyi dan isterinya pun bertambah karena, pada saat yang bersamaan mereka mendapat seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sudah pasti kedua anak tersebut sebagai karunia yang diberikan oleh para Dewa. 

Singkat cerita, Kwanyi dan istrinya memberikan nama Jauwiru kepada anak laki-laki sedangkan anak perempuan diberi nama Lemlai Suri. Dan kedua anak itu pun di asuh dengan kasih sayang hingga dewasa. Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. Sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara Indonesia. Jauwiru, yang lahir dari seruas bambu yang diasuh dan dijadikan anak oleh Kuwanyi dan istrinya akhirnya menjadi seorang pemimpin suku Dayak Hupan. Diwaktu itu, dia menggantikan ayahnya setelah wafat, dan inilah cikal bakal kerajaan Bulungan.  

Singkat cerita, kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera, yang ia beri nama Paran Anyi. Setelah dewasa Paran Anyi menikah dan Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi ia mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara. Setelah Lahai Bara dewasa, Lahai Bara pun dinikahi oleh seorang laki-laki yang bernama Wan Paren. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahirlah seorang putera yang mereka beri nama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir kehidupnya, Lahai Bara berpesan kepada anak-anaknya supaya “lungun” atau peti jenazahnya diletakkan di sebelah hilir sungai Kipah. Kemudian Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu  ani-ani (kerkapan), kedabang atau sejenis tutup kepala dan sebuah dayung atau “bersairuk”. 

Setelah Lahai Bara wafat ternyata tiga jenis barang warisan tadi menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya Simun Luwan. Yang akhirnya, peti jenazah dan dayung berhasil dibawa pergi oleh Simun Luwan. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang. Dan dari perkawinan mereka, lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan setelah dewasa, kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei. Pada masa itu dengan kesaktian yang dimiliki Simun Luwan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung, dari sungai Payang Tanjung itu pun terputus, serta hanyut ke hilir hingga ke tepi Sungai Kayan sekarang terletak di kampung Long Pelban di hulu kampung Long Pelban inilah peti jenazah Lahai Bara dikuburkan. 

Pada jaman itu, sejak kepergian Simun Luwan, karena perselisihan dengan saudaranya sendiri merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan. Dan akhirnya menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor yaitu, Ibu Kota Kabupaten Bulungan saat ini. 

Pada jaman dahulu, menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan Raja-Raja Bulungan tidak ada satu pun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara karena takut akan kutukan si Barau pada saat berselisih dengan Simun Luwan yaitu bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara yang melewati peti jenazahnya niscaya tidak akan selamat. Hingga sekarang, Tanjung Hanyut itu oleh suku Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun yang artinya Pulau Hanyut. Dalam alur kisah, tersebutlah Datuk Mencang, Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang pada masa itu telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur dan sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah berdiri Kerajaan Bulungan. 

Dikisahkan, pada masa itu, Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan kemudian, karena kehabisan persediaan air minum dengan sebuah perahu kecil, Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan untuk mencari air tawar, tetapi pada saat mereka menyusuri sungai mereka dihadang oleh suku bangsa Kayan. Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana hingga akhirnya mereka dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini, akhirnya Datuk Mencang menikah dengan Asung Luwan. Asung Luwan, yang tak lain adalah salah seorang puteri keturunan Jauwiru. Menurut legenda, awalnya Lamaran Datuk Mencang ditolak oleh Asung Luwan hanya saja ada pengecualian, yang dengan kata lain bersyarat yaitu maskawin berupa kepala Sumbang Lawing, orang yang telah membinasakan kakaknya. 

Singkat cerita, melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasannya. Datuk Mencang dapat memenuhi syarat yang diajukan Asung Luwan. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan yaitu dengan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata hingga Datuk Mencang lebih unggul, dan memenangkan uji ketangkasan tersebut. Asung Luwan menikah dengan Datuk Mencang tahun 1555 hingga 1594 sejak itu, berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh kepala adat/suku karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan pemimpinnya disebut sebagai "Kesatria" atau "Wira". Demikian kisah kerajaan Bulungan, yang dirangkum dari berbagai sumber semoga menjadi informasi yang menarik sebelum ditutup. Bagi yang baru membaca jangan lupa untuk memberi dukungan dengan memberikan saran keritik dan masukkan. Mohon maaf bila ada salah dalam penulisan ejaan dan nama dalam uraian tersebut, dan sampai jumpa diartikel  selanjutnya.

logoblog

No comments:

Post a Comment