Zaman dahulu kala, ketika semuanya masih hutan belantara dan hanya dihuni oleh hewan-hewan saja, belum ada manusia, belum ada televisi, yaapalagi telepon selular, Menteri Pendidikan di suatu negeri kala itu memberlakukan sebuah kurikulum baru. Sesuai dengan standar kurikulum baru tersebut semua murid dituntut harus bisa berlari cepat, bisa melompat, bisa terbang tinggi, bisa naik ke atas pohon, dan harus bisa berenang
Ketika si kuda mendapat nilai 100, ia pun dipuji setinggi langit oleh orangtuanya. Tetapi ketika mendapat nilai 40 pada pelajaran Terbang Tinggi dia dimarahi habis-habisan oleh orangtuanya. dijewer dan dicetot. Akibatnya si anak pun menjadi patah semangat, kemauan belajarnya menurun, dan cemas setiap kali mau berangkat ke sekolah.
Berbeda dengan si burung elang. Ketika pelajaran Terbang Tinggi dia sangat gembira, sama sekali tidak mengalami kesulitan, bahkan mampu melakukan dengan berbagai gaya sehingga mendapat nilai 100 dari gurunya. Namun ketika mengikuti mata pelajaran Berlari Cepat dia pun gagal juga.
Bagaimana dengan si macan? Macan mendapat nilai 90 untuk mata pelajaran Naik ke Atas Pohon, di bawah sedikit prestasi monyet yang mendapat nilai 100. Macan sangat cekatan sekali ketika melompat dan memanjat sekalipun pada pohon yang tidak rimbun. Dia dipuji setinggi langit oleh guru dan orangtuanya,
"Nah begitu dong. Itu baru anak macan yang cerdas!"
"Anak Mama memang pinter!"
"Mama sangat bangga!"
Tetapi ketika mengikuti pelajaran Berenang sang macan hampir saja tenggelam! Dia mengalami banyak kesulitan meskipun hanya sekadar tidak tenggelam. Sang macan pun diomeli habis-habisan oleh Mama macannya. Dibilang bodoh, lemah, dan tidak kreatif. Si anak macan pun dijewer dan dicetot.
Tidak puas dengan kemampuannya, si anak macan pun akhirnya disuruh ikut les berenang la pun latihan keras hingga larut malam
Kemampuan berenang si anak macan pun meningkat, nilai pelajaran Berenangnya naik. Namun, dengan berjalannya waktu kemampuan naik ke atas pohon yang menjadi andalannya malah semakin menurun. la tidak lagi lincah naik ke atas pohon, bahkan mulai fobia ketinggian karena jarang dilatih bahkan mulai ditinggalkan. Sehingga nilai mata pelajaran Naik ke Atas Pohon pun menjadi jeblok, hanya 50 padahal sebelumnya mencapai 90. Sang ibu macan pun sedih dan menyesal karena potensi anaknya dalam panjat pohon tidak berkembang.
Berbeda dengan si bebek. Ia begitu mudah mengikuti pelajaran Berenang. Bahkan ketika dilakukan di tengah danau ia melakukannya sambil menyanyi lagu Potong Bebek Angsa. Untuk mata pelajaran Berenang ia memang jagonya dan selalu mendapat nilai 100.
Tetapi ketika mata pelajaran Naik Ke Atas Pohon, ia pun gagal total. Meskipun telah dicobanya berulang kali dan dibantu guru dan mentor yang andal tetap saja tidak bisa naik tinggi.
Akhirnya waktu Ujian Nasional pun tiba. Para murid harus mengikuti ujian semua mata pelajaran yang akan menentukan kelulusannya. Mereka banyak yang stres, cemas, dan gelisah menjelang ujian. Mereka takut tidak lulus, karena tidak bisa mencapai nilai standar minimal yang disyaratkan. Bahkan ada pula yang mendadak mules sakit perut, tangan dan kakinya berkeringat dingin karena merasa masih belum siap. Mereka takut dimarahi orangtuanya kalau gagal, dicap sebagai anak yang blo'on, dan sebagainya. Setelah lonceng berbunyi, ujian pun dimulai. Suasana sekolah pun menjadi hening, tidak ada gelak tawa gembira.
Pelaksanaan Ujian Nasional pun usai sudah. Hasil ujian pun kemudian diumumkan. Semua bertanya pada Kepala Sekolah,
"Siapa yang lulus ujian?"
Ternyata tidak ada satu pun yang lulus!
Semua murid tidak ada yang bisa mencapai nilai standar untuk semua mata pelajaran. Untuk mata Pelajaran Naik ke Atas Pohon hanya monyet yang lulus, sedangkan murid lainnya, entah kuda, bebek, sapi, dan macan tidak ada yang lulus. Masing-masing murid memiliki nilai tinggi untuk bidang yang menjadi unggulan potensinya, sementara untuk bidang yang lain pada umumnya di bawah yang diharapkan.
No comments:
Post a Comment