Mar 1, 2017

Mengapa Guru yang Harus Melakukan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK) ?

Ketika membaca tentang pengertian dan ciri-ciri PTK, barangkali muncul pertanyaan yang sangat mendasar pada diri Anda. Mengapa guru harus dibebani lagi dengan PTK? Pekerjaan guru sudah cukup banyak, mengapa bukan orang lain saja yang melakukan PTK ini? Bukankah ada para peneliti pendidikan yang hasil-hasil penelitiannya dapat dimanfaatkan oleh para guru? Pertanyaan ini tentu biasa-biasa saja, namun, jika Anda membaca alasan berikut, barangkali rasa antipati Anda akan berkurang, dan lama-lama Anda akan merasakan, bahwa seorang guru memang perlu mampu melakukan PTK. Anggapan bahwa hasil-hasil penelitian pendidikan dapat dimanfaatkan oleh guru ternyata tidak seluruhnya benar, seperti yang diungkapkan oleh Raka Joni, Kardiawarman, & Hadisubroto (1998). Penelitian pendidikan pada umumnya dilakukan oleh para pakar atau peneliti dari LPTK, sehingga masalah yang diteliti sering kurang dihayati oleh guru, meskipun penelitian tersebut dilakukan di kelas. Sebagai akibatnya, guru yang menjadi objek kajian tidak terlibat dalam pembentukan pengetahuan. Di samping itu, penyebarluasan hasil penelitian ke kalangan praktisi di lapangan memakan waktu yang cukup lama karena publikasi melalui jurnal ilmiah sering memerlukan waktu sekitar tiga tahun. Kalaupun hasil tersebut sampai ke tangan guru, untuk mencobakannya masih diperlukan proses yang panjang lagi.

Selanjutnya, pertanyaan: mengapa guru yang harus melakukan PTK, menurut Hopkins (1993) berkaitan dengan isu-isu seputar profesionalisme, praktik di kelas, kontrol sosial terhadap guru, serta kemanfaatan penelitian pendidikan. Dari segi profesionalisme, penelitian kelas yang dilakukan oleh guru dipandang sebagai satu unjuk kerja seorang guru yang profesional karena studi sistematik yang dilakukan terhadap diri sendiri dianggap sebagai tanda (hallmark) dari pekerjaan guru yang profesional. Dari sisi ini ada dua argumentasi yang dapat dikemukakan (Hopkins, 1993, hal. 34-42).

Pertama, guru yang baik perlu mempunyai otonomi dalam melakukan penilaian profesional, sehingga sesungguhnya, ia tidak perlu diberitahu apa yang harus dia kerjakan. Ini tidak berarti bahwa ia tidak dapat menerima masukan atau saran dari luar. Saran atau masukan tersebut tetap penting, tetapi gurulah yang menentukan (memberikan professional judgement) atau yang paling tahu apakah masukan/saran tersebut sesuai dengan kelas yang dihadapinya.
 
Kedua, ketidaktepatan paradigma penelitian tradisional dalam membantu guru memperbaiki kinerjanya dalam mengajar. Salah satu aspek yang tidak menguntungkan dari penelitian tradisional adalah temuan-temuannya yang sangat sulit diterapkan dalam praktik pembelajaran di kelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Athur Bolster yang dikutip oleh Hopkins (1993), pengaruh penelitian tentang mengajar terhadap praktik pembelajaran sangat kecil karena asumsi atau titik tolak tentang mengajar yang digunakan para peneliti berbeda dengan asumsi atau titik tolak yang digunakan para guru. Sebagai akibatnya, kesimpulan resmi yang dihasilkan oleh berbagai penelitian tersebut kurang relevan dengan kebutuhan para guru yang mengajar di kelas. Anda barangkali dapat menemukan contoh konkret tentang hal ini.
 
Misalnya para peneliti ingin meneliti keefektifan salah satu metode mengajar. Ia berasumsi bahwa metode tersebut dapat digunakan guru secara terisolasi tanpa memperhatikan aspek lainnya. Padahal, dalam praktiknya, guru tidak pernah menggunakan metode itu secara terisolasi dan selalu menyesuaikannya dengan kondisi kelas. Tentu saja kesimpulan yang dihasilkan oleh penelitian tersebut tidak sepenuhnya sesuai jika diterapkan.
logoblog

No comments:

Post a Comment