Program akselerasi pendidikan pada hakikat merupakan salah
wujud penanaman budaya efesien pendidikan dalam masyarakat Indonesia. Artinya,
masa sekolah kita selama ini yang cenderung menyebabkan terjadinya pemborosan
waktu, uang, tenaga merupakan masalah inefisiensi yang tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Salah satu kesalahan kita adalah kebanyakan dari kita
berpendapat bahwa waktu adalah sesuatu
yang selalu tersedia secara melimpah ruah dalam kehidupan kita. Kebanyakan dan
kita hanya menyadari bahwa dana atau uang yang langka dalam kehidupan kita. Dan
dalam persoalan tenaga kebanyakan dan kita menganggapnya bahwa tenaga ini
merupakan sesuatu yang tidak selalu mempunyai nilai.
Analisis mengenai pemborosan waktu, dana, dan tenaga masih
dapat diperpanjang lagi secara ad
infinitum. Dengan demikian, sudah saatnya kita menanamkan
pandangan-pandangan baru tentang nilai dana, waktu dan tenaga bagi pendidikan
sekolah kita. Melalui program akselerasi pendidikan, akan dapat mengharapkan
terciptanya peserta didik nanti yang dapat hidup dan bekerja secara lebih
efisien adari pada peserta didik selama ini. Melihat kenyataan ini, maka paling
tidak pendidikan sekolah haruslah ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
pelayanan dengan pemanfaatn waktu, dana, tenaga untuk mendukung aktivitas
pendidikan agar dapat memberikan pelayanan pendidikan di sekolah secara baik.
Sementara, dari sistem pendidikan peresekolahan yang kita
bangun selama ini diharapkan akan mampu untuk memberikan nilai tambah yang jauh
lebih baik dari sebelumnya pada peserta didik (siswa atau mahasiswa) di setiap
jenjang dan tingkatan, dengan mangalokasikan waktu, biaya tenaga, sarana, dan
fasilitas pendukung lainnya. Investasi waktu, biaya, sarana, tenaga dan
fasilitas pendukung persekolahandinilai berpengaruh besar dalam meningkatkan
kualitas mutu pelayanan sistem pendidikan persekolah yang bertumpu pada tenaga
pendidikan (pimpinan, guru, dosen, tenaga administrasi, dan tenaga pendukung
pendidikan lainnya). Meski pada kenyataannya, kelihatan bahwa investasi-investasi
tersebut bukan merupakan jaminan terhadap peningkatan kualitas mutu sistem
pendidikan persekolahan.
Dalam investasi tehadap waktu, sistem pendidikan
persekolahan kita keliahatan menerapkan kuota belajar yang cukup lama. Hal ini
dapat kita lihat mulai dari tingkat Sekolah Dasar, SMP, SMA/SMK, sampai kepada
perguruan tinggi. Akibatnya, sistem pendidikan atau persekolahan yang ada
tersebut mampu melakukan fungsi dan perannya secara tidak efisien
(inefisiensi). Inefisiensi investasi waktu untuk menempuh pendidikan dalam
sistem pendidikan, tidak saja menghabiskan waktu untuk menekuni pendidikan
waktu yang terlalu lama, tetapi juga sekaligus menghilangkan kesempatan untuk
berkarir secara produktif, di samping untuk menikmati hasil-hasil pendidikan
yang digelutinya.
Jika dilihat pafa jenjang sistem pendidikan persekolahan,
inefisiensi alokasi waktu dalam menekuni pendidikan di Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah (SMP atau SMA/SMK), dan perguruan tinggi, sedikit bervariasi terutama
pada perguruan tinggi yang sangat dipengaruhi oleh prestasi akademik mahasiswa
yang bersangkutan. Akan tetapai sangat jarang hal ini dilakukan dikalangan
siswa, baik tingkat dasar ( SD dan SMP) maupun tingkat menengah (SMA/SMK). Di
Sekolah Dasar saja yang dididik harus menghabiskan waktu dan usianya untuk
belajar kurang lebih selama 6 tahun. Jika siswa tersebut memasuki Sekolah Dasar
6-7 tahun, maka berarti untuk menamatkan pendidikan sekolah Dasar, seorang
siswa harus menghabiskan waktu dan usianya kurang lebih 12-13 tahun. Kondisi
seperti ini belum dipengaruhi oleh kondisi internal dan kondisi eksternal
siswa, seperti hambatan keuangan orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya di
sekolah dasar, tidak naik kelas, persoalan bencana alam yang menganggu
aktivitas belajar siswa di sekolah dasar, sampai kepada hambatan budaya dan
sikap mental orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Semua komponen ini
turut mempengaruhi lebih atau tidaknya siswa belajar di sekolah dasar sesuai
dengan alokasi waktu belajar yang ditetapkan yaitu 6 tahun.
Sikap mental dan budaya ini ikut mempengaruhi kesempatan
anak untuk memasuki dunia sekolah dasar (menjadi siswa) sperti keluarga
nelayan, petani, dan pekerja-pekerja lainnya. Karena pekerjaa orang tuanya yang
kebetulan bekerja sebagai petani, nelayan dan lainnya akan ikut
mempengaruhi atau menghambat anaknya
untuk memasuki sekolah dasar dengan alasan lebih baik anaknya dikerahkan untuk
bekerja sebagai petani, nelayan atau lainnya yang dimiliki oleh orang tua anak. Dengan demikian, siswa yang normal menempuh pendidikan di sekolah dasar akan menghabiskan waktu dan usia siswa sampai 12-13 tahun untuk belajar di sekolah dasar belum ditambah dengan kemungkina hambatan-hambatan yang mungkin ia alami dalam menempuh dan melanjutkan pendidikan di sekolah dasar tersebut. Hambatan-hambatan seperti ini, sanagat beralasan untuk terjadi, mengingat hampir 30 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemisikinan. Ketika siswa tersebut tamat(lulus) dari sekolah dasar, maka selanjutnya siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setingkat di atas sekolah dasar yaitu SMP. Pada jenjang pendidika SMP ini, Siswa akan menghabiskan waktu 3 tahun lagi, apabila kondisinya berlaku secara normal, tanpa pengaruhi oleh hambatan-hambatan yang mungkin muncul layaknya seperti hambatan-hambatan ketika ia masih sekolah dasar. Jika dipendidikan yang ditempuhnya di SMP ini berlaku secara normal, maka berarti untuk tamat (lulus) dari SMP tersebut ia harus menghabiskan waktu dan usianya menjadi 15-16 tahun. Jika diprediksi usia ini misalnya 60 tahun berarti sisa usia yang ada tinggal 44-45 tahun.
Tetapi sebaliknya, jika siswa tersebut mengalami hambatan-hambatan seperti yang dialami seakatu ia beraad di sekolah dasar, maka ia berarti harus menghabiskan waktu dan usia yang lebih banyak lagi, misalnya ia tidak naik kelas selama satu tahun, terlambat satu tahun masuk sekolah karena tidak ada kesanggupan orang tua untuk menyekolahkan anaknya (siswa) tersebut, ditambah mungkin hambatan bencana alam yang mengganggu aktivitas belajar selama satu tahun pula, maka secara total berarti siswa ini harus menghabiskan waktu dan usia sebanyak 20 tahun untuk menyelesaikan tingkat SMP. Hal ini berarti, 20 % dari waktu dan usianya dihabiskan untuk pendidian sekolah sampai SMP. Belum diperparah lagi oleh kondisi siswa tersebut dalam tersebut dalam menghadapi pasar kerja. Dengan bermodal ijazah SMP, ia siap untuk turun tengah-tengah masyarakat yang sarat dengan persaingan lapangan
kerja. (bersambung )
No comments:
Post a Comment