Dec 17, 2019

LAMANYA SISTEM PENDIDIKAN PERSEKOLAHAN (Bagian 1)

Program akselerasi pendidikan pada hakikat merupakan salah wujud penanaman budaya efesien pendidikan dalam masyarakat Indonesia. Artinya, masa sekolah kita selama ini yang cenderung menyebabkan terjadinya pemborosan waktu, uang, tenaga merupakan masalah inefisiensi yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Salah satu kesalahan kita adalah kebanyakan dari kita berpendapat bahwa waktu  adalah sesuatu yang selalu tersedia secara melimpah ruah dalam kehidupan kita. Kebanyakan dan kita hanya menyadari bahwa dana atau uang yang langka dalam kehidupan kita. Dan dalam persoalan tenaga kebanyakan dan kita menganggapnya bahwa tenaga ini merupakan sesuatu yang tidak selalu mempunyai nilai.

Analisis mengenai pemborosan waktu, dana, dan tenaga masih dapat diperpanjang lagi secara ad infinitum. Dengan demikian, sudah saatnya kita menanamkan pandangan-pandangan baru tentang nilai dana, waktu dan tenaga bagi pendidikan sekolah kita. Melalui program akselerasi pendidikan, akan dapat mengharapkan terciptanya peserta didik nanti yang dapat hidup dan bekerja secara lebih efisien adari pada peserta didik selama ini. Melihat kenyataan ini, maka paling tidak pendidikan sekolah haruslah ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan dengan pemanfaatn waktu, dana, tenaga untuk mendukung aktivitas pendidikan agar dapat memberikan pelayanan pendidikan di sekolah secara baik.

Sementara, dari sistem pendidikan peresekolahan yang kita bangun selama ini diharapkan akan mampu untuk memberikan nilai tambah yang jauh lebih baik dari sebelumnya pada peserta didik (siswa atau mahasiswa) di setiap jenjang dan tingkatan, dengan mangalokasikan waktu, biaya tenaga, sarana, dan fasilitas pendukung lainnya. Investasi waktu, biaya, sarana, tenaga dan fasilitas pendukung persekolahandinilai berpengaruh besar dalam meningkatkan kualitas mutu pelayanan sistem pendidikan persekolah yang bertumpu pada tenaga pendidikan (pimpinan, guru, dosen, tenaga administrasi, dan tenaga pendukung pendidikan lainnya). Meski pada kenyataannya, kelihatan bahwa investasi-investasi tersebut bukan merupakan jaminan terhadap peningkatan kualitas mutu sistem pendidikan persekolahan.


Dalam investasi tehadap waktu, sistem pendidikan persekolahan kita keliahatan menerapkan kuota belajar yang cukup lama. Hal ini dapat kita lihat mulai dari tingkat Sekolah Dasar, SMP, SMA/SMK, sampai kepada perguruan tinggi. Akibatnya, sistem pendidikan atau persekolahan yang ada tersebut mampu melakukan fungsi dan perannya secara tidak efisien (inefisiensi). Inefisiensi investasi waktu untuk menempuh pendidikan dalam sistem pendidikan, tidak saja menghabiskan waktu untuk menekuni pendidikan waktu yang terlalu lama, tetapi juga sekaligus menghilangkan kesempatan untuk berkarir secara produktif, di samping untuk menikmati hasil-hasil pendidikan yang digelutinya.
Jika dilihat pafa jenjang sistem pendidikan persekolahan, inefisiensi alokasi waktu dalam menekuni pendidikan di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah (SMP atau SMA/SMK), dan perguruan tinggi, sedikit bervariasi terutama pada perguruan tinggi yang sangat dipengaruhi oleh prestasi akademik mahasiswa yang bersangkutan. Akan tetapai sangat jarang hal ini dilakukan dikalangan siswa, baik tingkat dasar ( SD dan SMP) maupun tingkat menengah (SMA/SMK). Di Sekolah Dasar saja yang dididik harus menghabiskan waktu dan usianya untuk belajar kurang lebih selama 6 tahun. Jika siswa tersebut memasuki Sekolah Dasar 6-7 tahun, maka berarti untuk menamatkan pendidikan sekolah Dasar, seorang siswa harus menghabiskan waktu dan usianya kurang lebih 12-13 tahun. Kondisi seperti ini belum dipengaruhi oleh kondisi internal dan kondisi eksternal siswa, seperti hambatan keuangan orang tua siswa untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dasar, tidak naik kelas, persoalan bencana alam yang menganggu aktivitas belajar siswa di sekolah dasar, sampai kepada hambatan budaya dan sikap mental orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Semua komponen ini turut mempengaruhi lebih atau tidaknya siswa belajar di sekolah dasar sesuai dengan alokasi waktu belajar yang ditetapkan yaitu 6 tahun.
Sikap mental dan budaya ini ikut mempengaruhi kesempatan anak untuk memasuki dunia sekolah dasar (menjadi siswa) sperti keluarga nelayan, petani, dan pekerja-pekerja lainnya. Karena pekerjaa orang tuanya yang kebetulan bekerja sebagai petani, nelayan dan lainnya akan ikut mempengaruhi  atau menghambat anaknya untuk memasuki sekolah dasar dengan alasan lebih baik anaknya dikerahkan untuk bekerja sebagai petani, nelayan atau lainnya yang dimiliki oleh orang tua anak. Dengan demikian, siswa yang normal menempuh pendidikan di sekolah dasar akan menghabiskan waktu dan usia siswa  sampai 12-13 tahun untuk belajar di sekolah dasar belum ditambah dengan kemungkina hambatan-hambatan yang mungkin ia alami  dalam menempuh dan melanjutkan pendidikan di sekolah dasar tersebut. Hambatan-hambatan seperti ini, sanagat beralasan untuk terjadi, mengingat hampir 30 juta penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemisikinan. Ketika siswa tersebut tamat(lulus) dari sekolah dasar, maka selanjutnya siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setingkat di atas sekolah dasar yaitu SMP. Pada jenjang pendidika SMP ini, Siswa akan menghabiskan waktu 3 tahun lagi, apabila kondisinya berlaku secara normal, tanpa pengaruhi oleh hambatan-hambatan yang mungkin muncul layaknya seperti hambatan-hambatan ketika ia masih sekolah dasar. Jika dipendidikan yang ditempuhnya di SMP ini berlaku secara normal, maka berarti untuk tamat (lulus) dari SMP tersebut ia harus menghabiskan waktu dan usianya menjadi 15-16 tahun. Jika diprediksi usia ini misalnya 60 tahun berarti sisa usia yang ada tinggal 44-45 tahun. 

Tetapi sebaliknya, jika siswa tersebut mengalami hambatan-hambatan seperti yang dialami seakatu ia beraad di sekolah dasar, maka ia berarti harus menghabiskan waktu dan usia yang lebih banyak lagi, misalnya ia tidak naik kelas selama satu tahun, terlambat satu tahun masuk sekolah karena tidak ada kesanggupan orang tua untuk menyekolahkan anaknya (siswa) tersebut, ditambah mungkin hambatan bencana alam yang mengganggu aktivitas belajar selama satu tahun pula, maka secara total berarti siswa ini harus menghabiskan waktu dan usia sebanyak 20 tahun untuk menyelesaikan tingkat SMP. Hal ini berarti, 20 % dari waktu dan usianya dihabiskan untuk pendidian sekolah sampai SMP. Belum diperparah lagi oleh kondisi siswa tersebut dalam tersebut dalam menghadapi pasar kerja. Dengan bermodal ijazah SMP, ia siap untuk turun tengah-tengah masyarakat yang sarat dengan persaingan lapangan
kerja. (bersambung )
logoblog

No comments:

Post a Comment