Anak memang berhak mendapat pendidikan yang baik. Orangtua perlu memberi semangat belajar dan motivasi yang tinggi, serta memberikan kesempatan bagi pengembangan potensi kecerdasannya namun tetap harus mengedepankan hak-hak anak dan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Sesuai dengan Undang-Undang, pendidikan seharusnya diarahkan pada pengembangan sikap dan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sehingga anak bisa mencapai potensinya seoptimal mungkin. Mereka berhak mendapatkan pendidikan karakter yang baik, santun, rendah hati, penuh hormat, bersemangat, kreatif, jujur, disiplin, dan lain-lain agar bisa mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas sebagaimana diamanatkan oleh negara.
"Belajar adalah hak bagi setiap anak, karena itu tidak boleh ada paksaan dalam mendidik anak."
Tetapi bagaimana mungkin anak-anak akan bisa berkembang dengan karakter yang mulia kalau setiap hari mereka menyaksikan atau mengalami kekerasan di tempatnya belajar, seperti anak dihukum, dihardik, dipukul, atau dilecehkan. Atau di rumah mereka mendapat perlakukan kasar dari anggota keluarganya, seperti dibentak, dijewer, dipukul, dimarahi, atau dilecehkan?
Jika kondisinya demikian, maka bukan tidak mungkin mereka akan berperilaku sebaliknya, menjadi tidak santun, tidak sopan, melawan orangtua, melawan guru, mudah putus asa, dan kehilangan semangat belajar sehingga potensi unggul yang ada dalam dirinya pun menjadi sia-sia.
Meskipun etika ditempatkan pada urutan pertama pada Standar Isi dalam Sistem Pendidikan Nasional kita, tetapi pada kenyataannya masih banyak ditemukan baru sebatas teori, bukan pendidikan. Padahal karakter yang baik merupakan modal utama bagi pengembangan potensi anak. Oleh karena itu anak-anak perlu mendapat pendidikan karakter sejak dini.
"Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang akan menumbuhkan terlihat mulai terkikis, tidak terkecuali di karakter baik dalam ruang-ruang pendidikan. Semangat yang dirinya."
Pendidikan karakter tidak bisa hanya diajarkan, tetapi perlu dicontohkan untuk diteladani, contoh baik yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh guru di sekolah maupun oleh orangtua di rumah Namun sayangnya, unsur keteladanan dan penanaman budi pekerti luhur ini telah ditanamkan oleh tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dalam sendi sendi pendidikan harus kembali digali dan ditanamkan. Nilai mata pelajaran yang tinggi, menjadi juara dalam setiap lomba, dan prestasi akademik lainnya tentu tidak ada gunanya apabila anak-anak kita memiliki karakter dan moral yang buruk dan tidak memiliki semangat kebangsaan yang diharapkan.
Pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi pendidikan harusnya diselenggarakan agar murid-murid bisa mengembangkan potensi diri yang dimilikinya, bukan untuk mencetak "robot-robot" yang patuh atau "bebek-bebek" yang penurut.
"Pendidikan diselenggarakan agar peserta didik bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya."
Apa yang terjadi di sekolah memang bukan tanpa alasan. Dalam diskusi dengan para guru, mereka sering mengeluhkan padatnya kurikulum dan banyaknya mata pelajaran. Sementara untuk mengembangkan potensi keunggulan siswa diperlukan waktu belajar yang cukup, suasana belajar yang nyaman sehingga anak-anak bisa leluasa melakukan kegiatan belajar yang diminatinya, seperti melakukan eksplorasi alam untuk memenuhi rasa ingin tahunya, dan menggali potensi dirinya.
Kurikulum yang padat, materi pelajaran yang terlalu berat, dan memberikan materi yang tidak sesuai dengan masa perkembangan anak jelas akan menimbulkan banyak persoalan psikologis pada anak. Kondisi demikian akan menjadikan kegiatan belajar hanya sekadar memenuhi kewajiban, bukan untuk memenuhi hak anak. Akibatnya sekolah pun hanya berfungsi seperti pabrik yang akan mencetak anak-anak yang cerdas menjadi robot-robot pekerja karena potensi unggul dan kreativitasnya telah dibuang dan dilupakan.
Maka jangan heran jika saat ini ada lebih dari satu juta sarjana yang menganggur karena kreativitas, inovasi, dan kemampuan-kemampuan unggul lainnya telah diamputasi, dicampakkan bagaj sampah yang tidak berguna oleh sistem pendidikan yang buruk Mereka hanya pandai menghafal dan melakukan pekerjaan rutin semata. Padahal yang dibutuhkan dunia saat ini adalah ide-ide baru yang kreatif dan inovatif guna menghadapi persaingan global yang semakin tinggi.
Semoga para orangtua dan para pendidik menyadari tentang hak-hak anak, khususnya hak mendapatkan pendidikan yang baik bagi anak sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sehingga anak-anak kita akan tumbuh dan berkembang secara optimal sebagaimana yang diharapkan.
No comments:
Post a Comment