Setiap tahun pada Jubelium Ratu Kerajaan Belanda Wilhelmina, Penguasa
Hindia Belanda di Sulawesi yang berkedudukan di Makassar, selalu mengagendakan
upacara perjamuan untuk seluruh pimpinan kerajaan sekutu Hindia Belanda di
Sulawesi. Acara itu dirangkaikan dengan paradepasukan utusan kerajaan di dalam
Fort Rotterdam, tempat Gubernur Hindia Belanda Braam van Morris tinggal.
Biasanya setiap kerajaan besar yang terikat dalam persekutuan Bondgenoots
(persekutuan dengan Pemerintah Hindia Belanda) dengan penguasa Belanda
berdasarkan perjanjian Bongayya serta Vorte Verklering (perjanjian
pendek ) diundang wakilnya untuk mengikuti upacara selain dua peleton pasukan
untuk mengikuti parade. Pada upacara saat itu, pasukan kerajaan Bone pun
mendapat undangan ke Makassar mengikuti upacara. Untuk menghormati persekutuan
kerajaan Bone dan penguasa Hindia Belanda, seperti tahun – tahun sebelumnya,
Arumpone menyatakan kesediaanya mengirim utusan dan pasukan mengikuti upacara
dan parade. Setiap tahun Kerajaan Bone memang mengirim dua peleton pasukan
regular untuk mengikuti upacara.
Saat itu , rombongan pasukan kerajaan Bone, dipimpin oleh tomarilaleng (
wakil raja untuk untuk urusan istana)
mewakili Arumpone. Tomarilaleng adalah pejabat dalam kerajaan yang
dihormati seperti Arumpone. Jabatannya adalah penasehat utama raja dan dapat
mewakili kerajaan Bone untuk memutuskan pelanggaran adat atau panngadereng .
Tomarilaleng berfungsi juga sebagai Petta Pabbicara ( Hakim Kerajaan) yang
bertindak sebagai hakim agung. Ia biasa dibantu oleh beberapa pejabat lain
memberikan pertimbangan putusan hukum yang tepat dan betul – betul di rasakan
adil. Dia pejabat dianggap paling bijak dalam kerajaan. Tomarilaleng adalah
pejabat yang harus menguasai dirinya dan bertindak adil dan berimbang dalam memutuskan sebuah perkara, adil tanpa
pandang bulu. Ia harus mengesampingkan permasalah pribadi dalam mengambil
keputusan. Sebagai Petta Pabbicarae, ia juga diberikan wewenang untuk
memberikan nasihat kepada raja agar dalam mengambil sebuah keputusan tidak
hanya berdasarkan emosi jika sedang murka. Tomarilaleng juga harus
memperhatikan kehidupan kenegaraan, penerapan agama yang dianut oleh kerajaan
dan membimbing rakyat untuk sama – sama mematuhi pangngadereng. Saat itu Pette
Sele sebagai anakarung, yang ditugaskan menyertai Tomarilaleng mengikuti
Jubilium Ratu Kerajaan Belanda.
Pasukan yang ikut parade hanya berkekuatan lima puluh orang. Tetapi pakaian
pasukan telah disiapkan berbulan – bulan sebelumnya. Pasukan kerajaan Bone
menggunakan dua seragam, hitam dan kuning untuk baju dan celana sebatas lutut.
Hitam simbol kekukuhan dan kuning simbol angin. Tomarilaleng dan Petta Sele dan
tiga anakarung memakai songkok yang dililit garis emas ( songkok recca).
Pasukan Bone yang muda – muda memakai passapu, selempang hitam dari pundak
sampai ke perut bersulam emas berwarna emas.
Perahu Phinis Pallari yang akan digunakan utusan kerajaan Bone tidak boleh
kalah megah dari perahu – perahu kerajaan lain yang akan mengikuti parade.
Perahu tersebut dibuat oleh panre lopi ( ahli pembuat perahu)
yang didatangkan dari daerah Bulukumba, hanya dalam waktu tiga bulan proses
pembuatannya, perahu itu sudah haruskan diluncurkan. Karena itu, panre lopi
dari Bulukumba bekerja keras agar perahu tersebut selesai pada waktu yang telah
ditentukan dan menghasilkan perahu yang megah. Semalam Petta Sele ikut
menghadiri upacara yang diselenggarakan oleh tukang dan nahkoda serta sawi
perahu itu dibantilang ( galangan kapal) Pantai Bajoe tempat pembuatan perahu.
Acara ini dimaksudkan untuk memberikan sesaji kepada Tautenrita (mahluk halus
kasat mata ) penghuni perahu itu dan perjamuan kepada para tukang yang membuat
perahu. Sesajian yang disediakan adalah nasi yang dibungkus dalam wadah daun
pisang yang dilipat dalam bentuk segitiga. Begiitupula daun sirih yang dilipat
kecil juga yang berbentuk segitiga.
Bette ( beras pangan ekstra) adalah beras yang yang digoreng tanpa minyak dan
ditubuh halus. Selain Bette ada juga Baje ( wajit ) setandan pisang dan dua
buah kelapa. Seorang imam dari masjid untuk membacakan doa yang diperuntukkan
kepad Nabi Haidir , nabi yang menguasai lautan yang dipercaya bisa berjalan di
atas ombak. Upacara sesajian ini melambangkan kepasrahan manusia kepada sang
penguasa laut.
Selesai, upacara, keesokan harinya dipagi buta selepas shalat subuh, Petta
Sele juga harus hadir untuk memimpin pelunjuran perahu dari bantilan ke bibir
pantai. Ratusan penduduk, dewasa dan anak – anak, laki – laki dan perempuan,
bapak – bapak dan ibu – ibu serta orang yang mengikuti upacara pada malam hari
sebelumnya menyaksikan peluncuran perahu yang baru selesai. Ketika kayu
peluncur yang sudah dipasang di bawah perahu dan puluhan laki – laki kuat yang akan mendorong dan menjaga keseimbangan
sudah siap di posisi di buritan dan samping kiri dan kanan perahu, Pette Sele
yang memimpin peluncuran tersebut memberikan aba- aba “samaratanna Hellallah ,
Samaratanallah Hellallah”.
Baca Juga :
- Bentuk Istana Kerajaan “Saoraja” dan Aturan Adat “Pangngadareng” Arumpone Pada Zaman Dahulu.
- Kisah Asmara Anakarung di Lingkungan Saoraja Arumpone
- Penyesalan Anakarung Rengngenngriale Lingkungan Saoraja Arumpone
Aba – aba ini diteriakkan dengan lantang dan nyaring berulang – ulang
seperti komando dan laki – laki yang diikuti oleh semua laki – laki yang ikut
mendorong perahu ke bibir pantai. Sedepa demi sedepa perahu bergerak mendekati
bibir pantai. Aba – aba dengan teriakan yang lantang “ Samaratanna Hellallah”
yang berirama terus berkumandang mengusik burung – burung pagi. Aba – aba itu dimaksudkan
untuk membuat pemusatan tenaga yang serentak dan merata menjadi satuan energi
untuk mendorong perahu itu bergerak. Setiap aba – aba yang diteriakan harus
diulang lagi oleh semua lelaki dewasa yang ikut mendorong perahu, bahkan anak –
anak kecil yang datang meramaikan di tepi pantai. Perahu bergerak maju, Sedikit
demi sedikit mendekati bibir pantai . Puncaknya ketika perahu sedang mengapung
di atas air, teriakan kegembiraan dan sorakan anak – anak dan perempuan yang
turut memberi semangar menjadi riuh gegap gempita. Pekerjaan berikutnya adalah
memasang guling (kemudi) dan pallajareng ( tiang layar ) . Akhir dari proses pengapungan ini, kepala
tukang menghampiri Petta Sele dan menyerahkan sebilah kayu sisa pahatan pertama
yang bernama kalabiseang, pertanda selesainya tugas tukang dan rasa puas mereka
atas perlakuan pemesaan selama mereka mengerjakan perahu tersebut. Biasanya
tukang merasa dikecewakan oleh pemesan, sisa pahatan kalabiseang tidak akan
diserahkan kepada pemesannya, kendati perahu sudah selesai dan bisa berlayar.
Ini menjadi pertanda , pemilik perahu bakal tidak akan mengenyam hasil usaha
menguntung dari perahu tersebut. Karena tukang yang dianggap sebagai ibu dari perahu itu. Karena tukang
yang dianggap sebagai ibu yang melahirkan perahu tersebut tidak merelakan
kelahiran anaknya. digunakan pemesan. Jika demikian konon terjadi peristiwa –
peristiwa aneh, misalnya perahu sangat berat untuk diapungkan, kendati sudah
mengerahkan ratusan tenaga manusia mendorongnya. Dan jika pun berhasil diapungkan,
perahu itu kemungkinan akan tenggelam diperjalanan atau kelak perahu itu akan
susah mendapat muatan pada setiap dermaga yang disinggahi. Ini semua
kepercayaan para panrita lopi yang ditaati pemesan.Matahari sudah merekah,
Ketika Petta Sele, meninggalkan pantai kembali ke rumah.
No comments:
Post a Comment