Pada zaman kerajaan Majapahit, datanglah seorang laki-laki ke daerah yang masih berupa hutan yang angker di kawasan Ujunggalu. Selain berhutan lebat, daerah ini juga berpaya-paya dan dihuni banyak makhluk halus yang mengganggu orang yang melewati Sungai Brantas.
Lelaki yang berani memasuki wilayah yang masih angker itu bernama Ki Wijil. Konon, dia masih keturunan Empu Ganring. Ki Wijil adalah nama pemberian dari seorang pembesar dari Kerajaan Majapahit. Ki Wijil merasa tertarik untuk membukan hutan lebat itu sebagai pemukiman dan persawahan. Seorang diri, Ki Wijil membabat hutan, menebangi pohon, dan menebas semak-semak.
Kegiatan Ki Wijil itu membuat penghuni hutan termasuk mahluk halus yang bersarang di dalam hutan menjadi marah dan ingin membunuh Ki Wijil. Antara Ki Wijil dan Mahluk halus itu terjadi pertarungan. Dengan kesaktian yang dimilikinya, para mahluk halus itu dapat dikalahkan oleh Ki Wijil.
"Kalian telah aku kalahkan, sekarang aku minta kalian pindah ke tempat lain karena tempat ini menjadi tempat pemukiman bagi manusia!" Kata Ki Wijil kepada para Mahluk halus yang telah ditaklukkannya.
Terbukanya hutan lebat itu menarik perhatian orang-orang yang sering melewati Kali Brantas untuk berdagan di pedalaman Majapahit. Mereka kemudian berduyun-duyun ingin ikut bermukim di daerah yang terbuka itu. Ki Wijil pun telah membuat areal persawahan dan juga tempat tinggal. Dengan peralatan yang masih sederhana, Ki Wijil mengerjakan sawahnya. Hasilnya dibawa ke Ujunggaluh untuk ditukarkan barang-barang keperluan sehari-hari. Tak lupa Ki Wijil membuat alat-alat pertanian yang terbuat dari logam.
Karena telah dikerjakan dengan peralatan pertanian dari logam, hasil pertanian Ki Wijil melimpah ruah. Hal ini tentu saja membuat heran orang-orang yang juga bermukim di daerah itu dan juga bekerja sebagai petani.
"Kami semua heran melihat hasil pertanian Ki Wijil yang tampak sangat subur dan hasilnya sangat melimpah ini. Apakah yang membuat demikian, Ki?" Tanya warga yang berduyun-duyun datang ke rumah Ki Wijil untuk meminta sedikit perihal tentang pertanian.
" Ooo, itu. Sebenarnya aku bertani sama seperti kalian. Cuma aku telah menggunakan peralatan bertani yang terbuat dari logam sehingga pekerjaanku menjadi mudah dan hasilnya segera tampak. Kalian masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Sebaiknya, kalian memakai alat seperti yang aku miliki ini!" Ki Wijil kemudian menunjukkan peralata pertanian dari logam yang telah dibelinya dari Ujunggaluh. Semua yang hadir terheran-heran.
"Bolehkah saya meminjamnya, Ki. Sehari saja, besok saya sudah mulai menggarap sawahku!" pinta salah satu dari warga daerah kepada Ki Wijil.
"Baiklah aku pinjami. Tetapi setelah selesai segera kembalikan!"
Bukan main senangnya hati warga yang telah dipinjami alat pertanian milik Ki Wijil. Dia berjingkrak-jingkrak dan menari-menari kegirangan.
Sejak kejadian itu, banyak warga yang selalu meminjam peralatan pertanian milik Ki Wijil itu sehingga membuat KI Wijil tak bisa mengerjakan sawah miliknya. Pekerjaan Ki Wijil menjadi tersendat-sendat dan hasil panennya menyusut. Walaupun begitu, dia tetap gembira sebab orang-orang yang tinggal didaerah itu sangat tebal rasa gotong royongnya. Mereka sering membantu Ki Wijil mengerjakan sawahnya.
Ki Wijil merasakan bahwa para tetangganya sangat memerlukan peralatan pertanian dari logam seperti miliknya agar hasil pertaniannya dapat berkembang maju. Terbawa oleh naluri leluhurnya yaitu Empu Gandring, Ki Wijil berbuat lebih banyak untuk para tetangganya dengan membuat alat-alat pertanian dari logam. Untuk itu Ki Wijil kemudian meninggalkan kegiatan dan mendirikan bengkel pandai besi. Setiap hari, Ki Wijil menempa besi untuk dibuat cangkul, arit, parang, keris, mata bajak, mata tombak, kapak dan lain-lain.
Semakin lama usaha bengkel pandai besi Ki Wijil semakin berkembang dan sangat terkenal karena hasil pekerjaannya sangat bagus. Akibatnya, banyak orang yang memesan, tidak saja hanya tetangga, tetapi juga dari daerah lain.
Ki Wijil semakin dihormati dan disegani. Ki Wijil dianggap sebagai orang yang memilik kesaktian. Nama Ki Wijil sebagai pandai besi pilihan telah menyebar ke mana-mana sehingga banyak orang-orang yang datang kepadanya untuk berguru.
"Kalian boleh berguru padaku. Akan tetapi, setelah kalian menjadi pandai besi, kalian harus menjual murah barang yang kalian hasilkan kepada para petani miskin. Kalian harus mau membantu mereka. Bagaimana?" tanya Ki Wijil Kepada Orang-orang yang ingin berguru menjadi pandai besi.
Semua orang itu menyatakan kesediaannya. Orang-orang yang telah menjadi murid Ki Wijil belajar dengan tekun membuat peralatan pertanian dari bahan logam. Setelah mereka mahir, mereka tidak mau kembali ke asalnya , tetapi ingin mendirikan bengkel pandai besi di daerah itu juga. Ki Wijil tidak merasa keberatan. Ia puas karena daerah yang dibukanya sekarang semakin ramai.
Selain terkenal denga daerah pertanian, daerah Ki Wijil sekarang juga terkenal sebagai daerah pandai besi. Setiap hari tidak pernah sunyi dari bunyi-bunyian hasil benturan besi dengan besi. Bunyi ting dan tang memenuhi seluruh daerah itu. Oleh karena itu itu belum bernama, pada suatu kesempatan Ki Wijil mengumumkan kepada warganya bahwa daerah itu akan diberi nama.
"Kalian semua menjadi saksi!" Kerena daerah ini setiap hari tak pernah lengah dari bunyi ting dan tang, mulai hari ini daerah kita ini aku namakan Ketingtang."
Mulai saat itu, daerah itu bernama Ketingtang. Daerah Ketingtang sekarang masuk dalam kecamatan Wonocola, Surabaya Selatan. Dengan demikian Ki Wijil yang masih keturunan Empu Gandring itu adalah nenek moyang masyarakat di Kelurahan Ketintang.