Dulu, banyak guru protes keras kepada pemerintah karena haknya sebagai guru dirampas. Hak apa itu? Yakni hak mengevaluasi muridnya.
Ujian Nasional yang diselenggarakan pemerintah dinilai sebagai bentuk perampasan hak guru. Guru adalah pihak yang paling tahu perkembangan muridnya. Namun, mengapa hak evaluasi murid dirampas lewat Ujian Nasional? Lebih ngerinya lagi, bagaimana mungkin pendidikan 3 tahun ditentukan oleh ujian selama 3-4 hari dengan mata pelajaran tertentu? Sangat amat tidak adil. Maka, bergulirlah protes agar Ujian Nasional dihapus.
Sekarang, pemerintah sedang menggodok mekanisme penilaian akhir jenjang. Bukan lewat Ujian Nasional, melainkan assessment kompetensi literasi dan numerik. Ujian Nasional hanya menekankan aspek kognitif dan mengebiri beragam potensi non akademik murid. Lebih lucunya lagi, hasil Ujian Nasional dijadikan parameter utama untuk penilaian kualitas sekolah, guru, dan murid.
Pada kondisi demikian, muncullah guru angin-anginan. Guru yang tidak percaya diri. Guru yang tidak konsisten berpikir. Dan guru yang doyan protes tapi nol solusi.
Wacana dihapusnya UN dan dimulainya model asesmen baru mulai 2021 mestinya disambut guru dengan gembira dan suka cita. Lha haknya yang dulu dihilangkan dan kini dikembalikan kok malah kecewa. Guru adalah pihak yang paling tahu perkembangan anak didiknya sehingga guru pula yang paling paham untuk menentukan apakah seorang murid itu diluluskan atau tidak.
Agar guru tidak bingung, pemerintah sedang menyiapkan tools atau alat yang bisa digunakan untuk melakukan asesmen murid. Rambu-rambu, indikator, dan prosedur sedang disiapkan. Inilah maksud agar anak-anak di daerah 3 T juga mendapatkan haknya. Jangan mengukur prestasi anak hanya dengan angka-angka kognitif, tapi perhatikan keadilan anak-anak di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
O iya, lupa. Tahukah Anda jika pelaksanaan Ujian Nasional butuh dana hampir Rp1 triliun? Bukankah lebih baik duit itu dipakai untuk melatih guru agar muridnya makin cerdas. Makanya jangan jadi guru yang angin-anginan.