(Lanjutan)
Beberapa lamanya Datu termangu-mangu saja di atas pohon, tetapi kemudian ia teringat akan iparnya. Dalam hati Datu berkata, "Baiknya kucoba memanggil iparku." Sekejap kemudian iparnya diserunya dan tiba-tiba suami adiknya datang menemuinya ke atas pohon Kusi. "Ini ulun datang menepati janji ulun dahulu," ujarnya kepada Datu Magat. Datu segera menunggang bahu iparnya, dan turun ke tanah kembali. "Ini adalah perbuatan khianat raja kepada kakak. Raja menghendaki kematian kakak," ujarnya kepada Datu Magat. Mereka berdua lalu berjalan hingga sampai di hutan yang bernama Balabar (sampai sekarang hutan Balabar tersebut masih ada). Di hutan Balabar tersebut banyak pohon Limpasu. Kemudian ipar Datu Magat berkata, "Kakak ambillah buah limpasu itu sebanyak tiga biji." Tanpa banyak bicara Datu Magat lalu mengambil buah limpasu sebanyak tiga biji. "Sekarang Kakak simpan dahulu buah limpasu yang Kakak petik itu ke dalam kantong baju.
Nanti apabila kita telah sampai ke tempat orang yang sedang melaksanakan keramaian di istana, kakak lemparkan buah limpasu itu. Apabila terdengar bunyi ledakan maka kakak harus segera menjauhi daerah itu. Sebab daerah tersebut telah runtuh, kuhancurkan," ujarnya menjelaskan kepada Datu Magat. Tidak lama mereka berjalan sampailah ke istana tempat raja sedang mengadakan keramaian. Datu Magat segera melemparkan sebiji buah limpasu ke tengah-tengah keramaian, tapi tak terdengar bunyi apa-apa. Lemparan buah yang kedua juga tidak terjadi apa-apa. Barulah kedengaran bunyi yang dahsyat ketika buah limpasu yang ketiga dilemparkan. Kerajaan Raja Lambu Garang hancur dan kemudian terbenam ke dalam tanah. Seluruh manusia yang berada di kerajaan menemui ajalnya, begitu juga Raja Lambu Garang. Sampai sekarang di daerah Paramaian masih ada daerah yang tanahnya berlubang. Di sana menurut ceritanya letak kerajaan yang terbenam itu.
Sesudah kejadian yang dahsyat itu berakhir Datu dan iparnya lalu secepatnya pulang ke tempatnya semula. Sedangkan ipar Datu Magat lalu permisi meninggalkan Datu. Mulai saat itu Datu hanya tinggal dengan adiknya, karena istrinya ikut binasa di istana raja. Pada suatu hari Datu Magat menyampaikan keinginannya untuk kawin lagi. Setelah adiknya menyetujui maka Datu Magat kawin dengan anak Raja Kait. Kerajaan itu sekarang terletak di kampung Tutupan Selatan. Begitulah perkawinan Datu Magat yang kedua ini pun membawa bahagia kepadanya. Istrinya yang kedua malah lebih cantik daripada Diang Sasar, istrinya yang pertama.
Sesudah Datu kawin dengan anak Raja Kait, maka tempat tinggalnya secara berganti-ganti. Kadang-kadang di tempat mertuanya, kadang-kadang di rumahnya sendiri. Setelah sekian lama, adik Datu Magat, Diang Wangi sudah dalam keadaan hamil tua. Pada suatu hari Diang Wangi bercakapcakap dengan suaminya. Wahai Adinda," ujar suaminya. "Nanti apabila engkau melahirkan anak laki-laki, maka berilah ia nama Patih Tadung Aria Wani. Sedangkan kalau engkau melahirkan anak perempuan terserahlah kepadamu untuk memberikan namanya." Setelah berpesan demikian ia lalu pergi meninggalkan rumah.
Setelah cukup bulan dan harinya lahirlah anak Diang Wangi, dan ternyata seorang laki-laki. Waktu dibersihkan terlihat pada leher anak itu terdapat sisik yang menyerupai sisik ular. Lalu anak tersebut diberi nama Patih Tadung Aria Wani, sesuai dengan pesan sang ayah. Tadung Aria Wani semakin hari semakin besar dalam pemeliharaan ibu dan julaknya. Kecerdasan dan kecakapannya boleh dikatakan hebat. Segala macam permainan anak-anak dalam waktu singkat telah dikuasai oleh Tadung Aria Wani. Misalnya permainan lugu, gasing, dan lain-lainnya, dialah yang paling mahir dalam kelompok kawan-kawannya.
Pada suatu hari Diang Wangi duduk-duduk di serambi rumah dengan anaknya, Aria Wani. Tiba-tiba ada tiga ekor burung hinggap di sebuah pohon kayu, melihat burung itu lalu Aria Wani bertanya kepada ibunya, "Ibu, mengapa burung itu jadi bertiga?" "O, itu yang seekor adalah ibunya, yang seekor adalah ayahnya, dan yang seekornya lagi adalah anaknya," Jawab Diang Wangi menjelaskan kepada anaknya. "Kalau begitu," ujar Aria Wani, "Aku ini seharusnya ada juga mempunyai ayah. Di mana ayahku, Bu?"
Dengan sedih Diang Wangi lalu menjelaskan pula. "Mengenai ayahmu, sampai sekarang tak ada beritanya. Mungkin ia berada di Hulu atau mungkin juga di Hilir. Barangkali di laut, dan tidak mustahil ia sekarang berada di darat. Ayahmu pergi tanpa memberitahu, ke mana." "Wah, kalau begitu aku merasa malu. Nanti orang menduga bahwa aku anak yang tak berbapak," jawab Tadung Aria Wani. "Aku hendak mencari ayahku di alam terbuka ini, di empat penjuru dunia ia akan kucari," demikian katanya pula.
Sejak saat itu Tadung Aria Wani mulai mencari ayahnya ke segala pelosok negeri, keempat penjuru dunia. Tetapi ayahnya tak ditemuinya juga. Karena tak bertemu di atas daratan, maka ia beranggapan bahwa ayahnya pasti berada di atas. Oleh sebab ia beranggapan demikian, maka Tadung Aria Wani mulai mencari jalan untuk pergi ke atas. Sejak itu ia giat menebang bambu, haur dan kayu-kavu lain-lainnya. Semuanya dikumpulkan, dan pekerjaan mengumpulkan kayu-kayu itu berlangsung tiga bulan lamanya. Sesudah dirasakan cukup semuanya. Maka mulailah Tadung Waria Wani membuat tangga ke atas. Demikianlah bambu yang ditebangnya itu disambung-sambung sampai tinggi menjulang ke atas. Tak berapa lamanya pekerjaan itu selesai. Tadung Aria Wani segera menghadap ibu dan julaknya untuk minta ijin mencari ayahnya di atas. Oleh ibu dan julaknya ia diberi ijin. Setelah mendapat ijin, Tadung Aria Wani cepat-cepat naik ke atas. Akan tetapi malang baginya bangunan yang dibuatnya itu rebah. Padahal waktu itu Tadung Aria Wani sedang berada di puncak tangga. Tangga rebah ke daerah Simpur (Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang).
Tadung Aria Wani juga terjatuh di daerah itu, dan menurut ceritanya Tadung Aria Wani itulah yang kemudian menurunkan orang Kandangan. Orang Simpur suaranya keras dan garang sesuai dengan suara dari Tadung Aria Wani. Jadi Tadung Aria Wani itu adalah Datu dari orang Kandangan, dan masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang Tabalong, khususnya dengan desa Balimbing sekarang. Tercerita Datu Magat, beliau berpesan kepada adiknya bahwa kalau nantinya beliau meninggal dunia, maka jasadnya jangan dikubur di tempat mertua atau di tempat lain, tapi tanamlah di kebunnya sendiri (di Harung). Sampai sekarang kubur Datu Magat itu masih ada di desa Harung, Kabupaten Tabalong.Datu Magat disebut orang juga Datu Harung.
No comments:
Post a Comment