Pada jaman dahulu di desa Harung tinggal seorang Datu. Datu ini dikenal sebagai seorang petani yang mempunyai tanah perladangan luas. Nama beliau yang sebenarnya adalah Magat, dan istrinya bernama Diang Sasar. Di samping itu Datu ini mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Diang Wangi atau Diang Dadukun. Selain bertani, berburu juga merupakan pekerjaan yang disenangi
oleh Datu Magat tersebut. Pada suatu ketika Datu Magat mengalami suatu peristiwa. Peristiwa itu dianggapnya sangat memalukan baginya. Betapa tidak, adiknya Diang Wangi Hamil tanpa bersuami. Datu sangat gelisah dan sakit hatinya oleh kejadian ini. Maka berkatalah ia kepada Diang Wangi. "Kejadian ini sangat memalukan aku karena engkau hamil tanpa bersuami," katanya. "Siapa laki-laki yang telah membuatmu jadi begini, Diang?", katanya pula kepada adiknya. "Aku tak dapat mengatakan siapa laki-laki itu," sahut si Adik. "Karena ia datang pada malam hari. Lalu meniduriku.
Sesudah selesai ia pun pergi malam itu juga," sahut si Adik pula. "Aduh! Ini sangat memalukan aku, " rintih Datu Magat.
Ia termenung, berfikir. Tak lama sesudah itu Datu mendapat akal, lalu ia berkata, "Baiklah kalau begitu, begini saja." Datu Magat lalu pergi mencari bamban sebanyak-banyaknya. Sesudah banyak bamban yang terkumpul mulailah dikupasnya kulit bamban tersebut, dan disambung-sambung sehingga menjadi tali yang sangat panjang, dan siap untuk digunakan. Pada malam berikutnya, laki-laki yang telah meniduri adik Datu Magat datang pula, dan dengan maksud yang sama yaitu meniduri Diang Wangi. Laki-laki itu sama sekali tak memakai pakaian kecuali cawat yang menutupi bagian kemaluannya. Cawat itu pun tidak terbuat dari kain, melainkan dari kulit kayu daluang.
Sesudah selesai meniduri Diang Wangi, sebagaimana biasa laki-laki tak dikenal itu membenahi dirinya untuk segera berlalu dari tempat itu. Tetapi ia tak mengetahui bahwa pada cawatnya telah diikat tali bamban oleh Diang Wangi, yaitu tali yang telah dibuat dan disiapkan oleh Datu Magat untuk menjebak dan menangkapnya. Tanpa mengetahui bahwa dirinya telah diberi bertali, laki-laki besar itu pun ke luar dari rumah Diang Wangi. Waktu itu diperkirakan pukul tiga subuh. Sesudah keluar dari rumah laki-laki itu terus berjalan. Masuk ke dalam pohon kayu, masuk ke dalam tanah, ke dalam balambika. Pokoknya ia berjalan itu berbelok- belok. Akhirnya ia sampai ke tempat peristirahatan, dan berbaring di bawah sebatang pohon belimbing. Karena lelahnya ia pun tertidur di sana.
Setelah hari siang, Datu segera bangun dan memeriksa gulungan tali, ternyata tali hampir habis. Segera Datu Magat menelusuri bentangan tali yang dibawa oleh laki-laki tadi. Sampai ke pohon kayu, diikuti terus akhirnya Datu menemui laki-laki itu sedang tidur nyenyak mengeram-ngeram seperti buta.
"Kalau kubunuh di waktu ia tidur, aku pengecut, bukan lakilaki. Lebih baik kubangunkan dahulu, lebih baik sama-sama dalam keadaan siaga, sama-sama membuka dada," ujar Datu Magat dalam hati. Lalu Datu mencoba membangunkan laki-laki itu, tapi tidak juga mau bangun. Dicari akal agar supaya laki-laki tersebut mau bangun dari tidur lelapnya. Ia telah mendapat akal yang bagus untuk membangunkan, yaitu bulu kakinya diikat dengan bulu kaki laki-laki yang tidur itu. Sesudah ikatannya cukup kuat Datu segera menyentakkan kakinya kuat-kuat. Karena sentakan itu si laki-laki terbangun, dan langsung berkata demi dilihatnya Datu Magat di hadapannya, "Oh Kakak," ujarnya.
"Kamu jangan gampang berkata kakak kepadaku. Kamu telah mencoreng arang di mukaku, membuatku malu. Mengapa engkau lakukan perbuatan keji itu sehingga adikku hamil padahal ia belum menikah denganmu," kata Datu Magat dengan marah. "Aku, wahai Kakak, banyak-banyak minta ampun dan maaf atas kesalahanku itu. Seandainya Kakak sekarang mau membunuhku, maka kuserahkanlah jiwaku, aku takkan melawan," jawab laki-laki itu dengan hiba.
Melihat hal demikian Datu Magat tak sampai hati membunuh si laki-laki yang telah menghamili adiknya itu. Karena laki-laki tersebut telah mengaku terus-terang akan kesalahannya, dan dengan jujur ia memohon ampun, serta bersedia mempertanggungjawabkan segala yang telah dilakukannya.
"Ulun berjanji akan membantu dan membalas budi baik kakak kelak di kemudian hari," katanya. "Seandainya kakak mendapat halangan panggillah namaku," ujarnya selanjutnya. "Kalau demikian baiklah, engkau kuampuni," jawab Datu Magat. "Jika kakak berkenan kawinkanlah aku segera dengan adik kakak itu, ini memang tanggung-jawab saya," katanya pula. "Baiklah, engkau kukawinkan dengan adikku Diang Wangi," kata Datu Magat selanjutnya. Sesudah kejadian itu maka dikawinkanlah Diang Wangi dengan laki-laki tersebut. Selanjutnya suasana tenang dan damai meliputi keluarga baru ini.
Putus cerita Datu Magat, tersebutlah sebuah kerajaan yang terletak di kampung Paramian sekarang. Nama rajanya Lambu Garang, istrinya bernama Singkap Siang. Raja Lambu Garang terkenal kejam. Segala hasil pertanian rakyat harus dibagi dua, sebagian harus diserahkan kepada raja, sedangkan sebagiannya lagi untuk si Petani yang mengeijakan pekerjaan tani tersebut. Pada suatu hari Raja Lambu Garang pergi berburu. Ia terputar-putar di dalam hutan sampai akhirnya tersesat ke dalam kebun Datu Magat.
Di dalam kebun Datu Magat itu tumbuh pohon cempedak, langsat, durian, rambutan, dan bermacam-macam pohon buahbuahan lainnya (Orang Tabalong menyebut kebun buah-buahan harung). Waktu berada di dalam kebun, Raja Lambu Garang bertemu dengan istri Datu Magat yang berparas cantik itu, dan sulit tandingannya. Segera saja raja tertarik dan jatuh hati kepada istri Datu. Tetapi ia tak berani untuk mengambilnya secara terang-terangan, walaupun ia telah mempunyai istri lebih empat puluh orang, belum terhitung gundik-gundik. Namun seleranya terhadap Diang Sasar istri Datu Magat tak berkurang. D'icarinya akal untuk mewujudkan keinginannya itu. Caranya ialah dengan mula-mula mengangkat Datu Magat sebagai Patih Kerajaan.
Setelah beberapa lamanya Datu Magat menjadi Patih Kerajaan, maka hubungannya dengan raja sudah sangat baik sedangkan istrinya pun sudah sering datang ke istana, dan sudah pula berkenalan dengan raja. Raja beranggapan bahwa sudah tiba waktunya untuk melaksanakan niatnya mengambil alih istri Datu Magat, Diang Sasar. Mula-mula diperintahkannya untuk mengadakan keramaian di istana.
"Kita mengadakan keramaian, undang rakyat seluruhnya," ujar raja. Begitulah semua rakyat diundang, tak termasuk istri Datu Magat. Keramaian diadakan dengan sangat meriah. Bermacam- macam permainan diadakan, tak terkecuali acara menyabung ayam. Tengah keramaian berlangsung, tiba-tiba raja berkata kepada Datu Magat, "Patih, ingin sekali rasanya aku meminum madu wanyi. Bagaimana kalau kita pergi memuai wanyi?". Ajakan yang dirasa oleh Datu Magat sebagai perintah raja itu tidak ditolaknya. Mereka segera berangkat mencari sarang wanyi.
Sampai di hutan mereka menemukan wanyi di sebuah pohon Kusi besar. Sampai sekarang daerah tempat pohon Kusi itu bernama Kusi Sungsang, yaitu di kampung Sulingan, Tanjung. Setelah diperiksa keadaan pohon Kusi dan keadaan sarang wanyi. Maka. Datu Magat segera membuat lantak untuk naik. Begitu juga penjolok panjang disiapkan. Setelah alat-alat tersebut siap maka segeralah Datu Magat naik ke atas pohon Kusi. Ternyata Datu Magat sangat pandai memanjat pohon. Di waktu Datu Magat berada di atas pohon dan mulai melaksanakan pekerjaannya memuai, tiba-tiba raja memotong lantak yang dipakai oleh Datu naik tadi. Padahal lantak itu juga nanti akan dipakai untuk turun dari pohon Kusi setelah pekerjaan selesai. Oleh karena lantak dipotong oleh raja, Datu tak dapat lagi turun dari pohon kusi.
Sesudah melakukan penipuan tadi, lalu raja memerintahkan kepada semua pengiringnya pulang. Sebab menurut pendapat Raja Datu Magat pasti sebentar lagi akan mati di atas pohon. Terutama karena kelaparan. Turun ke tanah tidak akan mungkin, sebab tangga sudah tidak ada lagi. Pohon Kusi sangat besar dan tinggi untuk bisa dipeluk turun, tanpa bantuan tangga.
No comments:
Post a Comment