Pada zaman dahulu kala, di hulu sungai Mahakam di sebuah pondok yang besar diam tiga orang bersaudara. Yang tua perempuan bernama Siluq. Kedua adiknya laki-laki bernama Sayus dan Songo. Adapun Siluq, wajahnya cukup cantik dan menarik, kerjanya setiap hari, tidak lain hanya berbelian dan bedewa mencari ilmu kesaktian, kadang-kadang lupa makan dan tidur.
Sayus bertubuh besar, kekar, kuat dan berani. Kalau ia berjalan biasa seperti orang berlari. Pohon kayu yang besar-besar dengan mudah dapat dicabutnya. Selain daripada itu ia dapat membesarkan dan mengecilkan tubuhnya seperti kanak-kanak yang berumur 9 tahun. Tetapi ia kurang bijaksana, suka mencampuri
urusan orang lain, dan kadang-kadang tindakannya serampangan, kurang dipikirkan akibatnya. Adiknya Songo tidak mempunyai keahlian apa-apa, kerjanya hanya tidur saja. Tidak ada kemauannya untuk bekerja, kalau disuruh baru mau bekerja. Itu pun lain diperintahkan lain yang dibuatnya.
Suatu saat musim barat tiba, hujan lebat turun dengan tidak henti-hentinya hampir semalam suntuk. Sayus bersaudara, tidak dapat tidur. Pondoknya bocor, karena atap daunnya sudah tua. Tikar kelambu basah kuyup. Keesokan harinya, sesudah hujan teduh, Sayus hendak pergi ke hutan mencari daun serdang untuk atap. Dilihatnya Siluq, terus saja bebelian, beayun dewa semalam suntuk, sampai pagi hari. Melihat kelakuan Siluq demikian itu, kesal jua hati Sayus, lalu berkata, "Kak Siluq hari sudah tinggi, aku hendak mencari daun serdang untuk menyisip pondok kita.
Engkau lihat itu, semua tikar, kelambu basah kuyup. Kamu memasak, sepeninggalku, dan aku coba-coba melihat jerat mudahmudahan mendapat rusa, karena ikan kita sudah habis hari ini." Mendengar perkataan Sayus itu Siluq pun terkejut. Sangat kesal hatinya, karena beliannya hampir selesai untuk memperoleh kesaktian, menjadi gagal dan berarti harus diulangi lagi. Ia bersabar, sehingga kemarahannya itu dapat dikuasainya.
"Baiklah Sayus, aku bejerang !". Dijerangkannya periuk muat setengah paso3), karena adik-adiknya kuat makan. Songo sendirian bisa menghabiskan 15 pinggan, walaupun keijanya tidur makan saja. Waktu Siluq hendak mengambil beras, dilihatnya peberasan kosong. Pikir Siluq, "Bagaimana ini, beras habis, ujungujungnya pun tidak ada." Teringatlah ia akan ilmu kesaktiannya, bisa membuat apa yang dikehendakinya. Ia pun balik ke dalam mendapatkan Sayus, sambil berkata, "Yus nanti kalau kamu kembali dari hutan, aku belum datang engkau lihat periuk, kalau apinya padam, tambah kayunya. Tapi jangan sekali-kali engkau buka tudungnya, aku hendak mencuci ke tepian dan menjemur tikar kelambu kita yang basah kuyup".
"Baiklah," kata Sayus, "Asal jangan engkau terlalu lama." Sayus pun pergilah ke hutan mencari daun serdang. Sepeninggal Sayus ke hutan, Siluq pun memasaklah. Sesudah dilihatnya beras habis diambilnya tujuh helai daun padi, dibersihkannya dimasukkannya ke dalam periuk. Ia pun turun ke tanah bebelian menuju agar daun padi yang dijerangnya masak menjadi nasi. Adapun Sayus setelah mendapat seberkas daun serdang diikatnya dengan aka tengang. Kemudian ia pergi melihat jeratnya. Seekor babi besar kena jeratnya. Babi itu dibunuhnya, diikatnya jadi satu dengan daun serdang itu. Setibanya di pondok mereka, babi dan daun serdang itu dihempaskannya di pelataran. Dilihatnya Siluq belum datang. Ia duduk di muka pintu menunggu Siluq. Setelah lama Siluq belum juga datang, ia pun ke dapur. Dilihatnya periuk besar itu terjerang di atas tungku. Ia hendak memeriksa apakah nasinya sudah masak, tetapi ia teringat akan pesan Siluq, melarang membuka tudung periuk itu, harus menunggu ia kembali. Karena dilarang Siluq, timbullah keinginannya, hendak mengetahui isi periuk itu. Lalu dibukanya tudung periuk itu, diperiksa isinya. Alangkah terkejutnya, isinya setengah berupa nasi, separuhnya masih berupa daun padi.
Adapun Siluq, sesudah ia habis memuja dan berbelian kembalilah ia ke rumah, terus memeriksa periuknya. Dilihatnya sebahagian jadi nasi sebahagian lagi masih berupa daun padi, tahulah ia bahwa Sayus sudah melanggar pesannya. Sayus tidak tahu bahwa kakaknya sudah datang dan sudah membuka tudung periuk.
Siluq tidak dapat lagi menahan sabarnya lalu berkata, "Sayus, kau ini terlalu perbuatanmu. Sudah kupesan, engkau tadi pagi, tudung periuk ini, jangan dibuka dulu, nanti aku sendiri yang membukanya, tapi nyatanya awak buka lebih dahulu sebelum aku tiba. Karena tingkahmu itu, hilang kesaktianku memasak daun padi menjadi nasi. Perbuatanmu itu tuhing besar. Coba engkau turuti pesanku, tidak payah-payah. kita berhuma menunggui sampai padi berbuah masak. Cukup kita menanak daun padi untuk memperoleh nasi. Ini perintahku sudah engkau langgar, ilmu tentang hal itu, hilang tak mempan lagi. Karena perbuatanmu, sudah melanggar tuhing besar, tak ada gunanya lagi kita berkumpul bersaudara. Nanti ada saja bencana akan menimpa kita". Berkata Sayus, "Jangan Kak Siluq, kita hanya tiga orang bersaudara. Adik Songo bodoh pula, kerjanya hanya tidur makan saja, tidak ada kegiatannya sama sekali. Jika diperintah baru bekerja, tapi lain disuruh lain kerjanya".
"Tidak, kita tidak dapat hidup bersama-sama. Engkau selalu melanggar tuhingku. Aku pindah ke pusat air, di sana aku dapat bebas bebelian dan bedewa tidak ada yang mengganggu dan mengomeli aku", ujar Siluq. Diambilnya bungkusan pakaiannya dan ayam jantannya di belakang dapur. Dengan cepat ia turun dari pondok itu. Tetapi tiba-tiba tapeh-silaqnya terkait pada daun serdang di pelataran sehingga robek, terbit marahnya, disepaknya ikatan daun serdang dan babi itu sehingga jatuh ke tanah. Sekonyong- konyong babi dan daun serdang itu hidup kembali menjadi seekor binatang, mukanya hampir seperti kerbau, bertaring di hidungnya, badannya tetap seperti babi, kulitnya tebal dan binatang itulah yang menjadi turunan badak Kalimantan sekarang. Akar dan daun serdang itulah menjadikan kulit binatang itu tebal berpetak-petak.
Karena hal itu terjadi dengan cepat, Sayus terpukau tiada sadar. Siluq lari ke tepian, melompat ke atas rakit dengan bungkusan dan ayam jantangnya. Air sedang banjir, arus sangat derasnya, karena itu rakitnya milir dengan cepat. Setelah jauh Siluq milir dengan rakitnya barulah Sayus sadar akan dirinya. Untuk menghalangi rakit Siluq, segera ia berlari milir menyusur tepi sungai Mahakam. Kecepatannya luar biasa, sehingga rakit Siluq jauh tertinggal di belakang. Diambilnya batu yang besar-besar dilembarkannya ke sungai Mahakam sehingga teijadi bendungan. Ketika Siluq sampai ke dekat bendungan itu, ayamnya berkokok, maka bendungan itu hancur lebur. Lewatlah rakit Siluq. Sayus yang duduk menunggu rakit Siluq di pinggir bendungan itu sangat marah. Lari pula ia ke hilir sungai Mahakam mendahului rakit Siluq. Dibendungnya lagi sungai Mahakam dengan batu besarbesar, tetapi apabila rakit Siluq sampai ke dekat bendungan itu dan ayamnya berkokok bendungan itu hancur lebur. Beberapa kali Sayus berusaha menghalangi rakit Siluq dengan bendungan yang besar-besar semuanya hancur apabila ayam Siluq berkokok. Bekas bendungan Sayus itulah yang menjadi keham di Ulu Mahakam. Rakit
Siluq sampai di Batang Mahakam. Sayus tak dapat lagi membuat bendungan, karena tidak ada lagi batu yang besar - besar seperti di Ulu Mahakam dan sungainya sudah amat lebar. Tetapi Sayus tidak putus asa. Ia terus berlari ke muara sungai Mahakam, mendahului rakit Siluq, agar Siluq tak sempat lari ke pusat air. Cepat-cepat ia membendung kuala sungai itu. Diambilnya lumpur di tepi sungai, ditambaknya kuala sungai itu, supaya kuat dan kelihatan sebagai daratan, dicabutnya nipah-nipah, ditanami bendungan itu sehingga nampaknya sebagai hutan nipah. Ia duduk menunggu rakit Siluq di tepi hutan nipah itu. Sesampainya dekat hutan nipah itu, ayam jantan Siluq berkokok, terjadilah aluran sungai-sungai yang sekarang menjadi Kuala Bayur, Kuala Berau dan delta-delta di Kuala Mahakam. Rakit Siluq lewat dengan cepatnya menuju laut lepas. Sayus terkejut, berkatalah ia, "Siluq kembalilah, jangan tinggalkan kami, kasihan adik kita Songo. Siapa lagi yang akan menanam padi dan memasak di rumah? Kembalilah." Kata Siluq, "Sudah terlanjur Sayus, nasi sudah jadi bubur. Aku tak dapat menarik ucapanku lagi. Biarkanlah aku, supaya tenteram memenuhi panggilan jiwa, tenteram dan damai bebelian dan bedewa mendekati Sang Hyang Dewata Raya di pusat air. Engkau dan Songo jangan takut, kesukaran tentang makanan, aku nanti akan datang sekali-sekali ke Hulu Mahakam. Apabila burung kangkaput berbunyi dengan ramai itu tandanya aku datang dan musim akan menjadi, panen padi dan jagung akan berlimpah-limpah".
Sehabis berkata demikian Siluq, ayam dan rakitnya hilang lenyap
dari pandangan mata Sayus, hilang di pusat air.
No comments:
Post a Comment