Dalam usaha peternakan unggas, faktor yang memerlukan perhatian utama dalam proses pemeliharaan ternak adalah pakan, karena biaya pakan merupakan pengeluaran yang terbesar dalam usaha peternakan, sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembangan usaha peternakan. Biaya pakan yang tinggi disebabkan sebagian besar dari bahan pakan tersebut masih merupakan bahan impor seperti jagung dan konsentrat yang harganya mahal. Untuk menanggulangi masalah tersebut diperlukan pencarian pakan alternatif yang penggunaannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, masih memiliki kandungan gizi, mudah di dapat, harga relatif murah dan aman di konsumsi oleh ternak seperti limbah sagu. Limbah sagu mempunyai potensi yang baik untuk digunakan sebagai bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber energi untuk manggantikan sebagian jagung atau biji - bijian lain dalam ransum unggas.
Limbah atau ampas sagu (Metroxylon sago Rotb) merupakan limbah hasil pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif bagi ternak. Ampas sagu adalah limbah padat pada pembuatan tepung sagu. Pengolahan sagu menjadi tepung sagu menghasilkan limbah yang cukup banyak, baik berupa limbah padat ataupun limbah cair. Limbah padat sagu belum dimanfaatkan secara optimal dan
biasanya dibuang.
Tanaman sagu (Metroxylon sago) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga palmae, genus Metroxylon dan ordo Spadiciflorae. Sagu dari genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu: pertama Pleonanthic adalah Metroxylon yang berbunga/berbuah dua kali dan kedua Hapaxanthic adalah Metroxylon berbunga/berbuah satu kali. Metroxylon adalah jenis sagu yang paling luas penyebarannya, dapat tumbuh pada ketinggian sampai 700 meter diatas permukaan laut dan tumbuh optimal pada ketinggian 400 meter diatas permukaan laut (Warintek, 2010).
Luas areal tanaman sagu Indonesia saat ini adalah sekitar 1.200.000 Ha (53% dari luas areal tanaman sagu dunia yaitu 2.250.000 Ha) dan luas areal budidaya sagu lebih kurang 148.000 Ha (Jsuherman, 2009). Ketersediaan limbah sagu pada tahun 2006 di daerah Mentawai Sumatera Barat cukup melimpah yaitu sebesar 14.000 ton yang diperkirakan dari produksi tepung sagu 3500 ton, jika ratio tepung sagu dan limbah sagu adalah 1 : 4 (BPS, 2007). Ketersediaan limbah /ampas sagu cukup banyak dibandingkan sagu, karena menurut Rumalatu (1988) rendeman pengolahan sagu hanya sekitar 14% sehingga sekitar 86% berupa limbah /ampas sagu yang bercampur dengan sisa pati yang terbuang, yang berpotensi sebagai pakan ternak. Proses pengolahan sagu dapat menghasilkan limbah ikutan berupa kulit batang sekitar 17-25% dan ampas sagu 75–83% (McClatchey et al. 2006). Ampas sagu ini masih tercampur dengan sisa pati yang ikut terbuang sehingga berpotensi sebagai pakan ternak. Di daerah Sumatra Barat selain di daerah Mentawai, ampas sagu juga Pada tahun 2006 di daerah Pesisir Selatan terdapat limbah sagu sebanyak 4000 ton (Nuraini, 2006).
Potensi limbah sagu dari segi kandungan gizi menurut Nuraini (2006), limbah sagu berpotensi cukup besar sebagai pakan sumber energi dengan kandungan BETN 72,59%, tetapi kandungan protein kasarnya rendah yaitu 3,29% dan kandungan zat makanan lainnya adalah lemak kasar 0,97% dan serat kasar yang tinggi yaitu 18,50% (Nuraini, 2006). Limbah sagu menurut Kiat (2006) mengandung lignoselulosa yang kaya akan selulosa dan pati, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber karbon. Limbah sagu berupa ampas mengandung 65,7% pati dan sisanya berupa serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Ampas sagu mengandung lignin 21%, dan selulosanya 20%. Limbah sagu dapat digunakan sebagai sumber karbon dalam medium fermentasi sekaligus dapat dijadikan pakan ternak, akan tetapi kandungan nitrogennya masih rendah sehingga diperlukan adanya penambahan sumber nitrogen seperti limbah/ampas tahu (Nuraini, 2006).
Pemanfaatan limbah/ampas sagu sebagai pakan ternak menurut Nuraini (2006) adalah sebanyak 7% dalam ransum broiler sedangkan menurut Idham (1997) ampas sagu dapat diberikan dalam ransum itik sampai level 15%. banyak ditemukan di daerah Pesisir Selatan dan Pariaman.
No comments:
Post a Comment