Sudah diuraikan bahwa di zaman zaman es daerah Indonesia terdiri atas daratan Sunda di sebelah barat, yang berhubungan dengan Asia Tenggara Continental dan daratan Sahul di sebelah timur, yang berhubungan dengan Australia. Daratan Sunda yang meliputi Jawa, Kalimantan dan Sumatera dengan perairan diantaranya cukup luas apalagi kalau ditambah dengan Asia Tenggara Continental. Suhu di kala plestosen di daerah ini tidak banyak mengalami goncangan sehingga merupakan daerah yang menguntungkan bagi evolusi tumbuh-tumbuhan dan hewan termasuk primata.
Di daerah-daratan Sunda dan Sahul merupakan kepulauan, yaitu Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku yang tidak stabil dan dibatasi oleh laut yang dalam dengan kedua daratan tadi. Daerah ini yang disebut Wallacea merupakan rintangan penyaring bagi fauna di kedua daratan tadi. Daerah ini, merupakan rintangan penyaring bagi fauna di kedua daratan itu. Sebagian dari fauna daratan Sunda dapat melalui rintangan tersebut menjadi ke timur sedangkan sebagian yang lain tidak, demikian pula dengan fauna daratan Sahul yang menuju ke barat. Oleh karena karena itu peran daratan Sunda, Wallacea, dan daratan Sahul penting sekali dalam migrasi fauna kedua, jurusan termasuk penyebaran manusia.
Hubungan darat antara Indonesia dan kontinen Asia dapat menjadi melalui Kalimantan atau Sumatera dan semenanjung Melayu sekarang, atau pun melalui Kalimantan atau Sulawesi, Filipina, Taiwan dan China Selatan. Hubungan dengan Australia dapat di melalui Irian atau Nusa Tenggara. Untuk menentukan arah migrasi pada jembatan-jembatan ini kita perlu mengetahui kepurbaan sisa-sisa manusia daerah-daerah yang dihubungkan oleh jembatan itu. Tidak mustahil migrasi berlangsung dalam kedua arah pada masa yang berlainan.
Di waktu glasiasi surut, permukaan laut menjadi lebih tinggi dan kedua daratan tadi menjadi kepulauan dan paparan lagi. Akibatnyanya kelompok-kelompok manusia yang mendiaminya menjadi terpisah-pisah di pulau-pulau yang yang berlainan. Terpisahnya kelompok-kelompok kecil dalam waktu yang cukup lama dalam lingkungan yang berubah-ubah dan berbeda-beda akan menimbulkan kan perubahan-perubahan evolusioner pada mereka. Zaman berikutnya dapat mempersatukan keturunan mereka di suatu daratan dan memungkinkan pembauran kelompok-kelompok yang sudah mengalami perubahan tadi. Migrasi terjadi lagi dengan timbulnya kembali daratan Sunda. Glasiasi yang berulang memberi kesempatan banyak bagi faktor-faktor evolusi untuk bekerja, terutama arus gen, efek perintis, dan seleksi alam.
Arus gen membuat masalah mikro evolusi dan pengenalan komponen-komponen rasial di daerah ini sulit sekali. Hibridisasi terjadi biasanya di daerah-daerah pembatasan antara dua kelompok. Terpisahnya kelompok baru yang merupakan hibrid akan menimbulkan pula perubahan perubahan evolusioner baru. Hibridisasi kembali antara dua kelompok yang telah terpisah lama menimbulkan pula variasi-variasi baru. Jika proses ini terjadi berulang-ulang dalam beribu tahun, dapat dibayangkan Bagaimana rumitnya perubahan-perubahan yang terjadi pada Populasi yang menghuni daerah ini.
Pulau-pulau kecil dengan bahan makanan Yang terbatas untuk populasi yang bertumbuh atau yang bar hutan lebat merupakan daftar seleksi yang khusus. Proses ngata Iyan pikmi Sasi dapat terjadi dalam lingkungan demikian, seperti diperlihatkan oleh gajah katai, kuda sungai katai, dan lain-lain sebagai evolusi pulau. Proses tersebut.Proses tersebut mempengaruhi manusia juga sehingga terjadi reduksi besar badan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Pulau-pulau kecil selanjutnya memberi kesempatan besar untuk bekerjanya efek perintis. Apalagi populasi perburuan di kala pleistosen yang hidup dalam kelompok dibawah 100 orang, memudahkan terjadinya proses pewarisan ciri tubuh sehingga dalam waktu yang relatif singkat dapat terjadi perubahan-perubahan yang mencolok jika dibandingkan dengan populasi asalnya.
Data yang ada sekarang Tunjukkan bahwa daratan Sunda sudah lebih lama didiami daripada daratan Sahul. Belakangan ini tampaknya baru dihuni manusia pada tingkat Homo Sapiens persoalan adalah penghunian Wallacea. Alat-alat batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara dan juga di Filipina menimbulkan dugaan bahwa Pithecanthropus pernah hidup di sana, tetapi hingga sekarang belum pernah ditemukan
Perlu ditekankan bahwa
Di sini bahwa ras yang dibicarakan dalam uraian ini adalah ras biologis
seperti yang sudah dikatakan sebelumnya oleh sebagian ahli antropologi tidak
diakui lagi eksistensinya. Oleh karena itu, Ras sama dengan Golongan atau
kelompok etnis, suatu penggolongan yang berdasarkan budaya. Memang ada
kemungkinan bahwa ras dan kelompok etnis bertepatan batas-batasnya, tetap bukan
suatu keharusan. Suatu ras dapat terbagi-bagi lagi ke dalam sub ras, yang
perbedaan-perbedaannya lebih kecil dan lebih sukar dikenal, atau ke dalam
populasi lokal , yang merupakan kelompok kembang biak yang dibatasi lebih tegas
oleh geografi.