Jujur katanya, ia pada mulanya tidak berkeinginan masuk militer. Tetapi di Apeldooren, ia punya dua tetangga. Keduanya lelaki yang sudah tua. Seorang veteran prajurit berpangkat sersan kompeni Belanda yang pernah bertugas di Hindia Belanda setengah abad yang lalu. Ia pernah ditugaskan pada sebuah perkebunan tembakau di Jawa. Seorang tetangganya lagi, mantan pegawai sipil kantor pemerintahan Hindia Belanda. Iya sangat terpelajar dan pernah bertugas pada sebuah kota di Celebes. Walaupun pengalaman mereka berdua kontras sekali. Tetapi merekalah yang membangkitkan minat Van Den Briek melihat keindahan alam benua timur dengan penduduknya yang berkulit sawo matang ini. Dan semua itu hanya bisa terwujud jika mereka menjadi militer. Berbeda dengan kisah-kisah mantan pegawai administrasi itu, cerita Letnan Van Den Briek.
Pensiunan sersan tua itu selalu mengangkat kisah-kisah petualangannya yang brutal. Bagian yang selalu dibanggakannya dari seluruh kisah-kisahnya itu adalah pengalamannya menjadi komandan jaga pada sebuah perkebunan tembakau di Temanggung. Para pengusaha perkebunan mengirim pegawainya dari Belanda selalu bersama dengan istri-istri mereka. Tetapi setiap akan tutup tahun, para pegawai petinggi perkebunan itu harus berangkat ke Batavia, melaporkan semua penghasilan mereka untuk dipertanggungjawabkan ke Amsterdam. Rapat mereka kadang-kadang memakan waktu berminggu-minggu. Para istri mereka yang masih muda-muda merasa kesepian di tengah hutan dan gunung yang dingin dan sepi. Mereka hanya bisa bergaul sehari-hari dengan bedinde mereka dari suku pribumi. Jika hari menjelang gelap, perkebunan itu kembali sunyi senyap.
Ada masanya istri-istri pakai perkebunan itu pada malam hari berkumpul di sebuah ruangan pertemuan. Kamar bola namanya, tempat sinyal dan noni Belanda biasanya berakhir minggu, berdansa dansi dan meneguk Jenniver. Noni noni itu, tanpa ditemani suami-suami mereka, mengobrol sesukanya tentang negeri Belanda dan kelakuan bedinde - bedinde mereka yang lugu dan bodoh. Jika pertemuan itu sudah usai, mereka biasanya minta pengawalan dari para penjaga untuk mengantar mereka pulang. Di sinilah petualangan dan affair itu sering terjadi. Menurut pengakuan pensiunan sersan itu, selama bertugas di perkebunan tembakau itu paling tidak ia pernah melayani secara teratur tiga istri-istri pegawai perkebunan yang kesepian itu. Karena kebiasaan, bahkan perselingkuhan mereka terjadi pada siang hari, kendatipun sama mereka berada di kantor perkebunan.
- BACAJUGA : Petta Sele' Menghadap Letnan Van Den Briek
Sebagai pemuda yang gagah di masa mudanya, semua itu bisa terjadi. Bahkan, istri yang telah memberinya dua anak dan anak cucu sekarang ini dulu adalah seorang istri pakai perkebunan yang telah diceraikan suaminya. Tetapi yang paling menarik dari kisah-kisahnya adalah mengenai alam indah pegunungan di daerah tropis Hindia Belanda. Hanya satu impian sersan itu yang belum terpenuhi. Jika seandainya ia masih bisa kembali ke Hindia Belanda, ia akan dikuburkan di perkebunan tempatnya dulu bekerja. Pada sebuah kaki gunung yang udaranya sejuk sepanjang hari.
Ia menarik nafas, ketika Letnan Van Den Briek menyudahi ceritanya. Seorang pelayan laki-laki masuk membawa dua cangkir kopi.
Silakan kata Letnan Van Den Briek ketika dua cangkir kopi itu sudah diletakkan di atas meja. Ia menyeruput kopi dari cangkir itu.
Hanya Gambar Pemanis (Visualisasi) |
Makanan di tangsi ini buruk. Sambung Letnan Van Den Briek lagi. Mereka sekarang, para opsir Belanda, pun harus terbiasa makan nasi dua kali sehari cukup ditemani perkedel. Sarapan pagi mereka yang hanya roti campur mentega dan telur dadar tiap hari. Selain, kaas atau keju dari Alkmaar Van Zuid Holland atau Gouda dan havermout tidak pernah lagi mereka dapatkan karena ransum yang biasa dikirim dari Batavia sudah di hentikan. Hanya obser tinggi berpangkat kapten ke atas yang tinggal di Fort Rotterdam yang belum berubah menunya. Bahkan menu mereka bertambah dengan sambal tiap hari. Letnan Van Den Briek tertawa. Petta Sele' ikut tertawa kecil.
Begitu akrabnya persahabatan mereka, Letnan Van Den Briek tiba-tiba mengeluarkan sebuah medalion kecil terbuat dari perak bercampur keramik dari sakunya. Ketika bagian depan medalion itu dibuka, tampak sebuah foto perempuan Belanda yang cantik.
"Ini Christina". Kata Letnan Van Den Briek menunjukkan foto di medalion itu.
"Hij Is Mijn Verloofde (dia tunangan saya). Kami akan kawin tahun depan jika dinas militer saya sudah berakhir". Lanjut Petta Sele'
Petta Sele' mengamati foto itu.
"Dia perempuan cantik Letnan". Kata Petta Sele'
Van Den Briek bangga dan tersenyum.
"Di mana dia". Tanya Petta Sele'
"Di Holland Den Haag. Ia Klerek di kantor Gemeente". Jawab Letnan Van Den Briek.
Letnan Van Den Briek lalu mengeluarkan secarik kertas dari lacinya, kemudian dengan pena di atas mejanya ia menulis nama Christina di kertas itu, serta alamatnya di Den Haag. Tulisan dengan pena itu sangat indah. Iya kemudian memberikan secarik kertas itu kepada Petta Sele', setelah Letnan Van Den Briek mengibas-ngibaskannya supaya tintanya cepat kering.
Tuan Penggawa, simpan Dan jika pergi ke negeri Belanda, temui kami. Katanya sambil mengangguk-ngangguk. Petta Sele' berfikir ia tidak akan mungkin menginjak negeri Belanda.
"Tuan Letnan, saya ingin sekali waktu menginjak negeri anda, tetapi itu hanya mimpi". Kata Petta Sele'.
Letnan Van Den Briek menggelengkan kepala, isyarat bahwa bukan mustahil Petta Sele' berkunjung ke negeri Belanda. Tetapi untuk menyenangkan Letnan Van Den Briek, menerima secarik kertas itu dengan penuh perhatian. Setelah tinta di kertas itu mengering, ia melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku. Pertemuan mereka cukup lama di hari itu.
"Saya akan menyimpan ini baik-baik Letnan". Kata Petta Sele' ketika pamit akan pulang.
Terdengar lonceng berbunyi beberapa kali dari arah pintu gerbang, pertanda waktu akan makan siang bagi serdadu di tangsi itu. Petta Sele' pun berdiri dan ia mendekat memeluk sahabatnya itu. Letnan Van Den Briek mengantar Petta Sele' keluar menuju gerbang tangsi. Ketika Petta Sele' melangkah pergi, Petta Sele' masih menengok ke Letnan Van Den Briek yang masih berdiri di pintu gerbang melambaikan tangannya.
"Daag". Letnan yang baik hati itu tetap melambaikan tangan.
Dua hari di Makassar, rombongan pasukan Bone yang ikut berperade merayakan ulang tahun ratu Wilhelmina tiba waktunya berlayar kembali ke Bone. Alur perjalanan perahu ditempuh arah sebaliknya ketika mereka berlayar ke Makassar. Ketika perahu mendekati pelabuhan Bajoe', gendang kembali tabung dan gong dibunyikan, menandakan perahu rombongan pasukan kerajaan Bone mendekati pantai. Iring-iringan perahu kecil, beramai-ramai menyambut kedatangan pasukan kerajaan Bone. Seperti ketika mereka dulu mendapatkan rombongan ke Makassar. Di dermaga Bajoe', pasukan Bone juga disambut oleh para keluarga rombongan yang sudah menunggu sejak pagi. Petta Sele' melihat Petta Toro, adiknya yang datang menunggang kuda putih melambaikan tangan. Ketika Panji kerajaan Bone yang dibawa mengikuti parade diturunkan dari perahu dengan pengawalan khusus ke saoraja, prosesi pasukan di elu-elu oleh rakyat Bone sepanjang perjalanan berikan dari Bajoe ke Watampone. Di saoraja Petta Sele' mendampingi to marilaleng melaporkan jalannya upacara Jubelium Ratu Wilhelmina di Makassar kepada Arumpone. Tetapi Arumpone tidak begitu berminat mendengarnya. Ia hanya mengangguk sambil mengunyah sirih pinang, dia menulis bibirnya dengan gulungan kecil tembakau yang penuh aroma daun sirih.
No comments:
Post a Comment