May 27, 2025

Arung Palakka Sang Pembebas

Jika mendengar nama Arung Palakka, pasti di benak mereka khususnya orang Bone pasti akan menaruh rasa hormat yang begitu besar dan tak terbatas. Bagi rakyat Bone, Arung Palakka bukan hanya sekedar pahlawan, tetapi juga sebagai pembebas dari kekejaman penindasan kerajaan Gowa tehadap orang-orang Bugis di masa lalu. Untung saja terlahirlah sosok dengan perawakan tinggi besar dengan mata yang menyala-nyala yang mampu menghapuskan kekejian tesebut meskipun terkesan tidak etis untuk melawan bangsa sendiri dengan bantuan penjajah kolonial.

Arung Palakka adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672 hingga 1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Arung Palakka jugalah yang menjadi pionır suku Bugis untuk menjadi salah satu kekuatan maritim terbesar yang bekerja sama dengan Belanda dan berhasil mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad lamanya.

Arung Palakka adalah sosok penting di balik penyebab runtuhnya kerajaan Gowa Tallo pada tahun 1669. Tak bisa disangkal pula bahwa dia dan balatentara To Angke-nya turut andil di bawah arahan VOC menumpas pemberontakan Minangkabau 1666 dan Trunojoyo Madura 1679.

Arung Palakka sebenarnya diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan istana Gowa-Tallo pada saat masih berumur 11 tahun. Karaeng Pattingalloang-lah yang turun langsung mengasuh pangeran Bone ini. Didampingi dengan puluhan bangsawan Bone, Arung Palakka berada dalam pengawasan kerajaan Gowa Tallo yang merupakan tawanan kerajaan Bone yang baru saja takluk.

La Maddaremmeng yang menjadi penguasa Bone kala itu harus dihukum oleh kerajaan Gowa-Tallo atas desakan bangsawan Bone termasuk ibundanya sendiri, Datu Pattiro We Tenrisoloreng, juga karena kerajaan Wajo dan Soppeng merasa terganggu dengan kebijakan politis-ekspansif Maddaremmeng di wilayah Bone, Wajo dan Soppeng. 

La Maddaremmeng dipercaya untuk melakukan desakan keyakinannya untuk menghapuskan perbudakan, dan penerapan syariat Islam yang ketat dengan pelarangan sabung ayam, judi dan minum tuak yang menjadi sebuah kebijakan yang saat itu tidak popular dan diyakini akan mengancam kedudukan para bangsawan. Dikisahkan dalam suatu serbuan awal, pasukan Gowa-Tallo yang dipimpin langsung oleh Patih Karaeng Pattingalloang berhasil menaklukkan kerajaan Bone dan menawan La Maddaremmeng bersama beberapa pengikutnya, termasuk Arung Palakka dan keluarganya.

Sejak runtuhnya kerajaan Melaka tahun 1511 oleh Portugis, para saudagar berpindah ke pelabuhan Makassar yang memang posisinya sangat stragetis dalam jalur pelayaran dari dan ke Maluku, kepulauan penghasil rempah memiliki pesona hingga tercium ke seantero dunia hingga bangsa Eropa membangkitkan visi imperialismenya

Dari situlah dimulainya banyak bangsa asing hendak berdatangan ke Makassar untuk berniaga, termasuk pedagang Melayu, Inggris, Spanyol, Arab dan Belanda. Pada suatu waktu, pedagang Belanda berbuat keributan di pelabuhan Makassar dan oleh karenanya mereka langsung diusir dan tak diperkenankan lagi berdagang di Makassar akibat kejadian itu.

Sejak tragedi tersebut, dendam mulai tumbuh dalam benak pedagang Belanda dan menjadi penyebab awal diincarnya kerajaan Gowa-Tallo untuk ditaklukkan oleh VOC kemudian. Saat itu, Arung Palakka mulai tumbuh menjadi pangeran cerdas yang mengabdi pada kebijakan-kebijakan Karaeng Pattingalloang yang kebetulan juga sangat menghargai kecerdasan Arung Palakka.

Namun akhirnya, pada tahun 1654, Karaeng Pattingalloang berhenti dari singgasananya dan digantikan oleh putranya yang rupanya kurang mewarisi kebijaksanaan ayahnya, Karaeng Karunrung

Raja muda ini terkenal sifatnya yang sangat temperamental dan lebih menyukai aktivitas militer yang ekspansif. Untuk memperkuat eksistensi kerajaan Gowa-Tallo, dia lalu memerintahkan pembangunan kanal raksasa di sekitar benteng-benteng yang dimiliki kerajaan. Para tawanan kerajaan dikerahkan dalam pembangunan ini, tidak terkecuali bangsawan-bangsawan Bone termasuk Arung Palakka.

Dengan kerja paksa yang melelahkan dan merendahkan martabat mereka, Arung Palakka kemudian berpikir untuk pengikutnya untuk melarikan diri dari Makassar. Bersama dengan empat ribu orang pengikutnya, ia menghindari kejaran pasukan Gowa Tallo menuju Buton, kemudian pada akhirnya berlabuh di Batavia tahun 1664 yang disambut oleh sahabatnya Corneelis J Speelman yang saat itu baru saja dipecat dari posisi Gubernur Jendral VOC di Coromandel, Srilanka.

Batavia tahun 1665 menjadi tempat pertemuan tiga pemuda yang masing-masing memiliki ambisi individual menegakkan kehormatannya. Laksamana Cornelis Janszoon Speelman (36tahun) adalah petinggi VOC Coromandel yang dipecat karena perdagangan gelap, Arung Palakka (30 tahun) adalah pangeran Bone yang kabur dari kerajaan Gowa-Tallo, Kapitan Jonker (40an tahun) adalah raja muda muslim Tahalele asal Maluku yang terusir dari kampungnya.

Ketiganya kemudian diam-diam membentuk sebuah triumvirate yang bergerak di bawah panji perusahaan dagang Hindia Timur milik Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

Di tangan triumvirate ini, kekuatan militer menjadi wajah yang lazim digunakan VOC dalam mengamankan kepentingannya. Riwayat kekerasan di balik politik dagang monopolistic konon bermuasal dari persekutuan ini.

Berbagai ekspedisi militer dikerahkan di berbagai wilayah kekuasaan VOC, sebutlah misalnya ketika Arung Palakka dan pasukannya dikerahkan dalam ekspedisi Verspreet yang berhasil menumpas perlawanan rakyat Minangkabau dan seluruh pantai barat Sumatera. Ekspedisi militer ini juga berhasil memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh, sekaligus berhasil menguasai sumber tambang emas Salido yang terkenal.

Oleh Arung Palakka bersama Speelman, kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman yang kemudian mengangkat Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.

Ekpedisi militer lainnya yang melibatkan triumvirate ini juga berlangsung di beberapa daerah, terutama yang terkenal adalah penaklukan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669) dan penumpasan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur (1679). Tercatat juga mereka turun dalam medan perang di Palembang dan Jambi (1681), serta Perang Banten saat memadamkan perlawanan Sultan Abu'lFatah (1682-1683).

Pencapaian paling penting Arung Palakka bersama dua kompatriotnya ini tak lain adalah takluknya Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669) dan Bone kembali berdaulat setelah sekian lama menjadi kerajaan bawahan.

Tak hanya itu saja, keberhasilan ini menguatkan dominasi dan hegemoni kekuatan Bone, dan Arung Palakka secara individual atas seluruh semenanjung Sulawesi bagian selatan, dari Selayar di selatan, hingga Mandar dan Toraja serta Luwu di utara. Sebaliknya, kekalahan Gowa-Tallo meninggalkan luka sejarah yang mengoyak hubungan kedua bangsa ini hingga beratus-ratus tahun kemudian.

Persekutuan tiga serangkai Speelman-Arung Palakka-Jonker ini nyatanya juga meninggalkan jejak di buku-buku sejarah, syair-syair Makassar, sinrilik dan cerita-cerita lokal Bugis Makassar. Bahkan riwayat persekutuan ini terabadikan pada sebuah nama tempat di utara Jakarta. Konon, pasukan Arung Palakka menamakan dirinya sebagai To Angke (bahasa Bugis: Orang Yang Memiliki Kehormatan), sebagai bentuk simbolis pemberontakan mereka untuk mengembalikan kehormatan Bone dari kekuasan Gowa Tallo.

logoblog

No comments:

Post a Comment