Nov 26, 2015

Kisah Asmara Anakarung di Lingkungan Saoraja Arumpone (bagian 2)

Malam sehabis magrib , Mayoroe’ Bone berkemas hendak pergi ke saoraja . Ia akan mengikuti Arumpone berburu rusa . Saat bulan purnama memang musim berburu . Dengan Cahaya Bulan yang sangat terang  menguak kegelapan hutan, sebuah sasaran burun akan mudah diintai dan dikejar.
Berburu rusa biasanya berlangsung satu sampai dua hari diikuti pejabat kerajaan. Kadang – kadang pertandingkan, diantara pemburu yang mendapat rusa yang yang paling banyak dalam sewaktu yang ditentukan maka itu akan di berikan hadiah berupa uang dalam satu pundi – pundi oleh Arumpone.‘’Siapkan pelana yang akan saya pakai “ Kata Mayoroe Bone Kepada Petta Sele Cucunya. Tanpa menyahut Petta Sele bergegas turun ke awa bola menuju pelana kuda yang tergantung di awa bola.

Tetapi dipilihnya sebuah pelana yang ia tahu menjadi kesayangan kakenya jika pergi berburu. Pelana itu dipasangkan ke punggung kuda yang sedang menunggu sambil menyentakkan kaki depannya. Pelana diikatkan erat melingkar di perut kuda. kemudian melepas ikatan kuda dan menarik ”sakkaleng”  tali kendali kuda . Kuda itu patuh mengikuti  Petta Sele ke samping tangga. Mayoroe Bone menuruni anak tangga dan sekali melompat ia sudah berada di atas pelana kuda.“Jagalah baik – baik saoraja selama Arumpone tidak ada”. Kata Mayoroe’ Bone. “Iye Dato’ .”Sahut Petta Sele kepada kakeknya .Mayoroe Bone menyentakkan perlahan tali kekang kuda , dan tanpa dituntun kuda sudah tahu jelan keluar melalui pintu halaman rumah, walaupun dalam kegelapan malam.

Suasana rumah kayu yang luas itu sepi stelah ditinggal Mayoroe’ Bone pergi berburu. Agak larut malam Petta Sele Barulah makan malam bersama bersama Petta Toro adiknya. Mereka kemudian pergi ke kamar masing – masing yang berjauhan. Petta Sele’ langsung membaringkan badannya. Dari tempat pembaringan , melalui jendela yang terbuka , ia melihat kearah bulan purnama. Cahaya bulan purnama menerobos  menerangi wajah Petta Sele’ dalam kegelapan malam di kamarnya. Diantara sadar dan tidak , terdengar suara seperti berjinjit mendekat. Apakah ada seorang penyusup ? pikir Petta Sele. Tetapi “Katabang”  lantai rumah kayu panggung yang terinjak tidak terasa getarannya. Pendengarannya sangat awas pada hal – hal seperti ini. Tetapi getaran “katabang”  menandakan bahwa langkah kaki yang mendekat itu bukan kaki laki – laki.Apakah I Maning ? Mustahil I Maning yang masih di beranda depan saoraja , ketika semua lampu “pajjenangen” lampu teplok sudah dimatikan. Buka kewajiban dia menutup menutup pintu depan. Atau mungkinkah kakeknya terlalu cepat pulang berburu.? Tiba – tiba dalam kegelapan Petta Sele melihat sebuah bayangan tubuh  perlahan melangkah masuk ke kamarnya . Bayangan penyusup itu kelihatan agak ragu  meneruskan langkah dan berhenti sejenak. Petta Sele’ menarik sarung dan meraih “kawali”  senjata tradisional khas Sulsel yang selalu diletakkan dekat tilam.Ia tidak bergerak, menunggu jika penyusup itu bermaksud jahat, sekali dia tikam penyusup itu pasti rubuh. Tetapi kewaspadaan segera ia kendurkan ketika melihat sosok yang masuk adalah perempuan dan perlahan melangkah masuk  lalu berhenti dekat jendela. Dengan jelas dan temaram , sosok itu melindungi wajahnya denga kerudung dari Sutra . Ia cepat mengenal siluet sosok itu pancara sinar purnama . Ternyata dia adalah I Bunga Rosi.
“Daeng”  panggilan seorang kakak . sapa I Bunga Rosi perlahan.Sapaan orang Bugis untuk seorang kakak.Petta Sele’ baru sadar dan terkejut. Ini tidak mungkin terjadi, mereka sekarang dalam keadaan bahaya. Seorang ”anakarung” dan “anakarung makkunrai”  yang berada dalam satu kamar berdua bukan muhrimnya tabu dalam ”pangngadareng”. Tetapi I Bunga Rosi sudah duduk di tilam pembaringan. Dalam temaram , ia memandangi tubuh I Bunga Rosi dari baju kain kasa yang digunakan.Bayang dua buah dada yang sedang mekar dan puting susu yang kecil. Petta Sele bangkit dan duduk di tilam. I Bunga Rosi malah merebahkan tubuhnya ke pundak Petta Sele’. Tercium bau harum bunga Culang dari gelung rambut I Bunga Rosi.Indra perasa pada kulit Petta Sele’ yang tersentuh kulit I Bunga Rosi seperti tersengat.

Baca Juga Kisah Asmara Anakarung di Lingkungan Saoraja Arumpone (bagian 1)


Ia tahu bahwa mereka dalam bahaya. Ada hembusan angin melalui jendela yang membawa bau sangat purba.Ia semakin sadar , tetapi sudah terlambat. Ia tidak ingin kedatangan I Bunga Rosi akan dianggapnya tidak dihargai. Ia memeluk I Bunga Rosi . Ia tahu bahwa ia ingin hanya sampai disitu saja. Petta Sele’ juga ingin mengatakan sesuatu, tetapi rangsangan yang memabukkan itu sudah melumatkan mereka. Petta Sele’ dan I Bunga Rosi memacu sebuah kuda perkasa tanpa sanggurdi menuju arah bulan. Makin jauh dan makin jauh menembus awan, menanjak.kemudian mereka berdua tertelan bulan purnam.

I Bunga Rosi cepat bangkit dari tilam dan hanya sekejap pula I Bunga Rosi sudah menghilang. Hanya suara langkahnya makin menjauh. Ada derak sedikit terdengar di pintu belakang yang dibuka seseorang kemudian seseorang menutupnya lalu sepi. Petta Sele’ kembali membaringkan tubuhnya,cahaya bulan yang mulai bergeser hanya menerangi separuh ruangan kamarnya. Ia meletakkan dua telapak tangan menutup sebagian dadanya.Menatap langit – langit kamar. Tiba – tiba dari halaman , Petta Sele’ terdengar suara dengusan kuda dari bawah rumah panggung itu. Jantung Petta Sele’ berdegup kencang . Benar Mayoroe Bone, kakeknya telah pulang lebih awal dari berbaur. Ia segera menyambut kakeknya di halaman . Disana Petta Toro adiknya sudah lebih dahulu memegang tali kekang kuda untuk mempermudah kakeknya turu dari pelana . Untuk menutupi rasa kagetnya , Petta Sele bertanya kepada kakeknya.’’Tidak jadi berburu Dato’?’’ ‘’Arumpone membatalkan perburua, arumpone tiba – tiba meras tidak enak bada.”Tanpa banyak berkata – kata lagi, Mayoroe’ Bone meninggalkan kedua kakak beradik di “awa bola”  dan melangkah naik ke atas rumah. Ia masuk ke kamar  dan tertidur.
logoblog

No comments:

Post a Comment