Nov 18, 2015

Pengajaran Sains Tidak Mengkaitkan Sama Sekali dengan Kebesaran Allah dan Menyembunyikan Kunci dalam Sejarah Perkembangan Sains.

Pengajaran sains yang telah berjalan terlihat tidak mengkaitkan sama sekali dengan kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala, dan menyembunyikan fakta-fakta kunci dalam Sejarah Perkembangan Sains. Persoalan besar lainnya, pengajaran sains sangat berorientasi pada nilai akademik dan tidak menghidupkan ruh dan adab peserta didik untuk berpikir dan berkontribusi positif. Pengajaran sains yang tidak integratif dengan mata ajar sains lainnya, metode pengajaran, dan pandangan hidup yang ter-Barat-kan menjadi pelengkap persoalan tersebut.

Disertasi Dr. Wido Supraha ini telah membongkar persoalan besar di Indonesia, dimana pengajaran sains di sekolah-sekolah umum dan universitas telah berlangsung sekian lama namun tidak pernah mengalami perbaikan secara signifikan dan mendasar, apalagi jika dikorelasikan dengan target besar Pendidikan Nasional.

Untuk membuktikan pernyatannya, Dr. Wido Supraha meneliti beberapa buku panduan Pembelajaran Biologi untuk SMA dan MA Kelas X yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional yang telah lulus dari penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah dinyatakan layak sebagai buku teks pelajaran berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007 tentang “Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran”.  Pada buku ini ditemukan persoalan-persoalan besar yang sangat substansial.

Sedikit contoh yang bisa diambil misalkan pada Buku Biologi. Pada sub-tema pembahasan “Konsep-konsep tentang Asal Mula Kehidupan”, dibahas bahwa kehidupan asalnya dari lautan dan bahwa kehidupan asalnya dari udara. Pada sub-tema pembahasan “Teori Asal-usul Kehidupan”, kembali diangkat teori abiogenesis, yakni pernyataan Aristoteles bahwa makhluk hidup terjadi secara spontan, dan teori biogenesis, bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk hidup lain yang tidak harus sejenis.  Demikian juga pada pembahasan Teori Evolusi yang dikaitkan dengan asal-usul kehidupan disebutkan di dalam kandungan buku ajar: “Manusia dikaruniai Tuhan akal dan pikiran. Tuhan berkehendak agar dengan akal dan pikirannya itu, manusia mau berpikir tentang makhluk ciptaan Tuhan, yaitu makhluk hidup dan alam semesta. Berbekal ilmu pengetahuan manusia ingin menyibak tabir misteri kehidupan tentang bagaimana alam semesta diciptakan.” (Lihat buku Biologi Untuk SMA & MA Kelas XII, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009, hlm. 192).

Dalam buku pelajaran, Fisika dikenalkan berasal dari bahasa Yunani yang berarti “alam”. Padahal terminologi fisis dalam bahasa Yunani merujuk kepada pengertian metode yang sistematis, bukan natural. Adapun terjemahan yang cocok bagi kata alam adalah thabi’ah dalam bahasa Arab, atau nature dalam bahasa Inggris. Fisika dikenalkan sebagai sesuatu telah berkembang di era Galileo dan Newton hanya karena teori yang telah disusun oleh Galileo tentang hukum benda yang jatuh, dan teori gerak yang telah disusun oleh Newton.

    “Menurut sejarah, fisika adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dengan pengamatanpengamatan dari gerakan benda-benda langit, bagaimana lintasannya, periodenya, usianya, dan lain-lain. Bidang ilmu ini telah dimulai berabad-abad yang lalu, dan berkembang pada zaman Galileo dan Newton. Galileo merumuskan hukum-hukum mengenai benda yang jatuh, sedangkan Newton mempelajari gerak pada umumnya, termasuk gerak planet-planet pada sistem tata surya.” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Matematika, hlm. ii.)

Begitu juga, Ilmu Kimia tidak diajarkan asal katanya sebagaimana ketika Fisika dibahas. Padahal jelas istilah “Kimia” adalah  bahasa Islam. Tokoh sekaliber Jabir ibn Hayyan yang telah diakui sebagai founding father dari Kimia Terapan, Kimia yang tidak sekedar sebagai teori tanpa makna dari tokoh-tokoh Yunani seperti Democritus dan Aristoteles, tidak sedikit pun mendapatkan tempat pembahasan. (Khamidinal dan Tri Wahyuningsih, Kimia SMA/MA Kelas X, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009).

Sebagaimana materi-materi ajar sains lainnya, kalaupun dimunculkan tokoh-tokoh sains sebagai pelengkap materi, tokoh-tokoh yang dihadirkan terbatas terbatas pada tokoh-tokoh Barat mulai abad ke-18 Masehi saja. Ketidakjujuran pandangan hidup Barat atas sumbangan peradaban Islam yang begitu besar dalam sejarah perkembangan sains Barat, diakui oleh John M. Hobson: “Most of us naturally assume that the East and West are, and always have been, separate and different entities. We also generally believe that it is the ‘autonomous’ or ‘pristine’ West that has alone pioneered the creation of the modern world; at least that is what many of us are taught at school, if not at university.” (John M. Hobson, The Eastern Origins of Western Civilisation, UK: Cambridge, 2004).

Padahal, sebagaimana Ruth Benedict, “Sejarah tidak dapat ditulis seakan-akan hanya milik sekelompok orang sendiri. Peradaban telah terbangun secara bertahap. Eropa terlalu yakin bahwa semua yang terpenting di dunia berawal dan berakhir dari diri mereka.” (Ibid).

Prof.  Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan bahwa sains hari ini perlu dievaluasi karena telah menjadikan filsafat modern sebagai alat interpretasi. Selain sebagai penafsir sains, filsafat modern juga menyusun sains alam dan sosial ke dalam suatu pandangan dunia. Penafsiran model inilah yang pada gilirannya menentukan arah yang akan ditempuh sains dalam mengkaji alam. (Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Bandung:Mizan, 1995, hlm. 25).

Untuk mengisi kesenjangan antara realitas perkembangan sejarah sains dengan pengajaran sains itu sendiri sangat dibutuhkan perubahan terhadap materi ajar sains sehingga memenuhi tujuan besar Pendidikan Nasional, termasuk peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Dalam hal ini, dunia bersepakat bahwa George Sarton (1884-1956) adalah sosok yang tepat untuk dijadikan referensi utama dalam pengembangan pengajaran sains disebabkan keseriusannya selama hidup untuk memasukkan sejarah sains sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan lebih jauh lagi, dia mendorong agar pengajaran sejarah sains menjadi aktivitas ilmiah yang melahirkan ikatan kuat seluruh umat manusia dan penghormatan manusia terhadap sejarah setiap peradaban untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Salah satu murid Sarton di Harvard University yang menjadi Profesor di Fakultas Sejarah Sains di Universitas Ankara Turki, Aydin Sayili (1913-1993), mengatakan, bahwa cita-cita besar George Sarton adalah melahirkan kesatuan cara pandang manusia, kesatuan sains atau ‘kesatuan pengetahuan’.  George Sarton mengajarkan perbedaan mendasar antara sejarah dari sebuah sains dengan sejarah sains itu sendiri. Dalam hal ini Conan berkata, “From Professor Sarton I learned, while I was a graduate student in chemistry, the difference between the history of a science and the history of science”. (James B. Conant, “History in the Education of Scientists”, Harvard Library Bulletin Vol. 14, 1960).

Lebih jauh lagi, George Sarton juga menegaskan pentingnya pelatihan ilmiah kepada para sarjana di Barat untuk tema-tema penting berikut: paleografi, filsafat skolastik, sejarah politik, sejarah eklesiastik, dan pelatihan dasar tentang salah satu cabang ilmu alam. (James B. Conant, “George Sarton and Harvard University”, Isis, Vol. 48, 1957)
logoblog

No comments:

Post a Comment