Pendidikan Islam
Di Aceh, seperti halnya di tempat-tempat
lain yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, pada hakekatnya hanya ada
satu jenis ilmu atau pengajaran (Aceh: èleumeè', dari kata Arab ilmu), meliputi
segala sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan orang sesuai dengan kehendak
Allah seperti diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ilmu tersebut diarahkan untuk
mencapai cita-cita yang tinggi dan mulia serta praktis, yakni memungkinkan
manusia hidup demikian rupa menyenangkan Tuhan agar membukakan kepadanya pintu
menuju keselamatan yang abadi. Di samping itu, semua ilmu lainnya dianggap
mempunyai derajat yang lebih rendah dan hanya berfungsi untuk mencapai
cita-cita duniawi, baik yang dibenarkan maupun yang dilarang oleh Hukum Yang
Maha Suci.
Pada masa Nabi Muhammad dan tidak
lama sesudahnva, ajaran yanp tunggal ini sangat sederhana dan ruang lingkupnya
relatif kecil. Tetapi sejarah perkembangan Islam segera melahirkan
perbedaan-perbedaan pandangan dan menciptakan doktrin-doktrin baru sehingea
ensiklopedi ajaran Muhammad memperoleh proporsi yang terhormat, dan para guru walau
barangkali berkeinginan lain — terpaksa memusatkan tenaga pada satu subyek
tunggal saja.
Untuk mendapatkan pemahaman seperlunya
terhadap ensiklopedi ajaran Muhammad kita harus mendalami gambaran-gambaran
pokok dari sejarah komposisinya. Hal ini telah saya gambarkan pada bagian
pendahuluan dari tulisan saya tentang perikehidupan kalangan terpelajar di
Mekah dewasa ini dan kiranya tidak perlu diulangi lagi di sini. Cukuplah membuat
sekedar rekapitulasi tentang cabang-cabang ajaran Muhammad yang dipraktekkan di
Aceh.
Pengajaran dasar (pengajian Al-Quran)
Awal dari semua pengajaran bagi
setiap pengikut Muhammad yang terdidik adalah pengajian Al-Quran (Aceh: beuet
Kuru'an). Pada tahap ini lafal bacaan bahasa Arab lebih ditekankan dibanding
pemahaman isinya sendiri. Pengajaran dasar ini hanya memberikan praktekkepada
alat dengar, ingatan dan lidah; aturan pengajian seperti termuat dalam pamflet tentang
ilmu tajwid dan dikesankan secara lisan kepada para murid oleh para guru ngaji
diajarkan secara terinci sekali.
Hasil pengajian Al-Quran
Yang diperoleh murid dari pengajian
Al-Quran ini adalah kemampuan menghafal dengan benar bagian-bagian kitab suci
itu yang diperlukan untuk sembahyang sehari-hari. Akhirnya si murid juga mampu
pada waktu-waktu tertentu membaca surah-surah Al-Quran sesuai dengan aturan
seni baca yang demikian ketat. Hal ini biasanya dilakukan dengan sukarela atas
dasar pengabdian keimanan. Selain itu, para murid yang bukan keturunan Arab
dapat mengenal sistem pengucapan yang asing dan sulit, dan dengan demikian
sekaligus mendapat pengetahuan tentang ilmu fonetik.
Sepanjang mereka tidak mudah lupa
akan apa yang dipelajari, maka yang telah belajar mengaji tersebut mampu
membaca huruf Arab dengan bunyi-bunyi huruf hidup. Namun, bila mereka tidak
melanjutkannya, mereka tidak mampu membaca tulisan Melayu, atau bahkan bahasa Aceh
yang ditulis dengan huruf Arab.
Oleh sebab itu, bahkan di kalangan
atas sekalipun banyak orang yang tidak tahu atau tidak seberapa tahu membaca;
dan lebih sedikit lagi yang tahu menulis. Saya sering mendengar orang Aceh
mengatakan lebih berat bebannya daripada senangnya apabila menulis. Untuk
kepentingan dirinya sendiri mungkin mereka jarang mempraktekkan keahlian dalam
menulis; tetapi setiap orang yang ingin membuat surat atau dokumen lainnya
merasa sudah sepatutnya dibantu oleh orang yang pandai menulis, dan nampaknya
bahkan berpendapat bahwa si juru tulis diminta berbaik hati untuk menyediakan
sendiri alat-alat tulis-menulisnya.
Kita telah melihat peranan yang dimainkan
pengajaran dasar ini dalam pendidikan masyarakat Aceh. Lidah orang Aceh,
seperti halnya orang Jawa, mengalami kesulitan besar mereproduksikan
bunyi-bunyi bahasa Arab. Oleh sebab itu, semua guru-guru Aceh asli yang belum terlatih betul dalam sem' baca Al-Quran di bawah bimbingan yang ketat dari orang asing, cukup banyak menyimpang dari bunyi bahasa Arab yang sebenarnya. Seperti halnya masyarakat Indonesia lainnya, mereka memiliki pengucapan sengau atas kata 'ain. Tetapi pengucapan u atau au bertekanan sebagai ee adalah khas ucapan Aceh. Seperti halnya di Jawa, di Aceh juga kelainan-kelainan seperti ini telah mulai berkurang akhir-akhir ini karena banyak di antara guru-guru agama terkemuka hasil didikan di Mekah. Para pemuka ;»gama yang lebih kecil belajar dari guru-guru tersebut atau pembaca Al-Quran profesional dari Mesir yang sering mengadakan perlawatan ke Aceh.
No comments:
Post a Comment