Feb 24, 2017

Praktek Tiga Cabang Ajaran Muhammad dan Studi Pendahuluannya di Aceh.

Pendidikan Islam

Di Aceh, seperti halnya di tempat-tempat lain yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, pada hakekatnya hanya ada satu jenis ilmu atau pengajaran (Aceh: èleumeè', dari kata Arab ilmu), meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai dan dilaksanakan orang sesuai dengan kehendak Allah seperti diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ilmu tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita yang tinggi dan mulia serta praktis, yakni memungkinkan manusia hidup demikian rupa menyenangkan Tuhan agar membukakan kepadanya pintu menuju keselamatan yang abadi. Di samping itu, semua ilmu lainnya dianggap mempunyai derajat yang lebih rendah dan hanya berfungsi untuk mencapai cita-cita duniawi, baik yang dibenarkan maupun yang dilarang oleh Hukum Yang Maha Suci.

Pada masa Nabi Muhammad dan tidak lama sesudahnva, ajaran yanp tunggal ini sangat sederhana dan ruang lingkupnya relatif kecil. Tetapi sejarah perkembangan Islam segera melahirkan perbedaan-perbedaan pandangan dan menciptakan doktrin-doktrin baru sehingea ensiklopedi ajaran Muhammad memperoleh proporsi yang terhormat, dan para guru walau barangkali berkeinginan lain — terpaksa memusatkan tenaga pada satu subyek tunggal saja.

Untuk mendapatkan pemahaman seperlunya terhadap ensiklopedi ajaran Muhammad kita harus mendalami gambaran-gambaran pokok dari sejarah komposisinya. Hal ini telah saya gambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan saya tentang perikehidupan kalangan terpelajar di Mekah dewasa ini dan kiranya tidak perlu diulangi lagi di sini. Cukuplah membuat sekedar rekapitulasi tentang cabang-cabang ajaran Muhammad yang dipraktekkan di Aceh.

Pengajaran dasar (pengajian Al-Quran)

Awal dari semua pengajaran bagi setiap pengikut Muhammad yang terdidik adalah pengajian Al-Quran (Aceh: beuet Kuru'an). Pada tahap ini lafal bacaan bahasa Arab lebih ditekankan dibanding pemahaman isinya sendiri. Pengajaran dasar ini hanya memberikan praktekkepada alat dengar, ingatan dan lidah; aturan pengajian seperti termuat dalam pamflet tentang ilmu tajwid dan dikesankan secara lisan kepada para murid oleh para guru ngaji diajarkan secara terinci sekali.

Hasil pengajian Al-Quran

Yang diperoleh murid dari pengajian Al-Quran ini adalah kemampuan menghafal dengan benar bagian-bagian kitab suci itu yang diperlukan untuk sembahyang sehari-hari. Akhirnya si murid juga mampu pada waktu-waktu tertentu membaca surah-surah Al-Quran sesuai dengan aturan seni baca yang demikian ketat. Hal ini biasanya dilakukan dengan sukarela atas dasar pengabdian keimanan. Selain itu, para murid yang bukan keturunan Arab dapat mengenal sistem pengucapan yang asing dan sulit, dan dengan demikian sekaligus mendapat pengetahuan tentang ilmu fonetik.

Sepanjang mereka tidak mudah lupa akan apa yang dipelajari, maka yang telah belajar mengaji tersebut mampu membaca huruf Arab dengan bunyi-bunyi huruf hidup. Namun, bila mereka tidak melanjutkannya, mereka tidak mampu membaca tulisan Melayu, atau bahkan bahasa Aceh yang ditulis dengan huruf Arab.

Oleh sebab itu, bahkan di kalangan atas sekalipun banyak orang yang tidak tahu atau tidak seberapa tahu membaca; dan lebih sedikit lagi yang tahu menulis. Saya sering mendengar orang Aceh mengatakan lebih berat bebannya daripada senangnya apabila menulis. Untuk kepentingan dirinya sendiri mungkin mereka jarang mempraktekkan keahlian dalam menulis; tetapi setiap orang yang ingin membuat surat atau dokumen lainnya merasa sudah sepatutnya dibantu oleh orang yang pandai menulis, dan nampaknya bahkan berpendapat bahwa si juru tulis diminta berbaik hati untuk menyediakan sendiri alat-alat tulis-menulisnya.

Kita telah melihat peranan yang dimainkan pengajaran dasar ini dalam pendidikan masyarakat Aceh. Lidah orang Aceh, seperti halnya orang Jawa, mengalami kesulitan besar mereproduksikan bunyi-bunyi bahasa Arab. Oleh sebab itu, semua guru-guru Aceh asli yang belum terlatih betul dalam sem' baca Al-Quran di bawah bimbingan yang ketat dari orang asing, cukup banyak menyimpang dari bunyi bahasa Arab yang sebenarnya. Seperti halnya masyarakat Indonesia lainnya, mereka memiliki pengucapan sengau atas kata 'ain. Tetapi pengucapan u atau au bertekanan sebagai ee adalah khas ucapan Aceh. Seperti halnya di Jawa, di Aceh juga kelainan-kelainan seperti ini telah mulai berkurang akhir-akhir ini karena banyak di antara guru-guru agama terkemuka hasil didikan di Mekah. Para pemuka ;»gama yang lebih kecil belajar dari guru-guru tersebut atau pembaca Al-Quran profesional dari Mesir yang sering mengadakan perlawatan ke Aceh.
logoblog

No comments:

Post a Comment