Apr 13, 2020

CERITA DAERAH BENGKULU : LEGAU SERDAM

Dalam sebuah dusun di Renah  Sekelawi ada  seorang pemuda bernama Sutan Indah. Ayahnya bernama Ratu Panjang, seorang kepala dusun yang disegani dan  dihonnati  oleh  rakyat- nya. Sutan Indah sangat pemalas. Ia tidak pernah membantu ayahnya bekerja di sawah atau di ladang. Oleh sebab itu ia tidak diacuhkan ayahnya, meskipun ia adaiah anak  tunggal.  Hanya kepada ibunya saja Sutan Indah berani mengadu. Ayahnya sibuk dengan sawah dan ladang serta sibuk memikirkan kesejahteraan kampungnya. Setiap hari Sutan Indah  menelusuri tebing sungai memperhatikan ikan-ikan yang berenang dalam air. Ia duduk  di  atas batu, memperhatikan burung-burung meloncat dari dahan  ke dahan di atas  ranting  dan  di  dalam  semak  belukar  sekelilingnya. Ia mengamati tupai jantan dan betina bergelut di batang bambù, yang ujung daunnya  menjuntai  menyapu air  yang deras mengalir di sela batu-batu. Kalau hari terasa panas Sutan Indah teijun ke dalam air berenang ke sana ke mari, sambii bersiul kecil dengan lagunya sendiri.

Pada suatu  hari,  ketika  Sutan  Indah  sedang berjalan-jalan di pinggir sungai, ia melihat sepotong bambù  hanyut  dibawa arus. Anehnya di atas bambù  yang sebesar  telunjuk itu, bertengger seekor burung  camar. Dengan tidak disangka, bambù  itu menepi sendiri dan mendekat kepada  Sutan Indah. Lebih  aneh lagi, burung camar tidak mau terbang. Sutan Indah berusaha memungut bambú itu dan juga burung camar yang jinak tersebut  lalu dibawanya pulang. Pada mulanya Sutan Indah bermimpi. Dalam mimpinya ia didatangi oleh seorang bidadari yang sangat cantik dan berkata, "Sutan Indah, buatlah olehmu sebuah sedam dari  bambù  yang kau dapati di sungai kemarin, sedangkan burung itu sembelih dan tanakkan minyaknya. Minyaknya kau lumurkan pada  serdammu itu, keringkan selama empat puluh hari dan empatpuluh  malam. Aku ingin sekaü mendengar bunyi serdammu itu Sutan Indah".

Sutan Indah terjaga dari tidurnya, dan berusaha mengingat mimpinya itu. Keesokan harinya dibuatnyalah sebuah serdam dari bambu yang didapatinya di sungai kemarin itu. Tiga hari lamanya ia membuat serdam itu,  dengan  berhati- hati sekali jangan sampai pecah atau retak sedikit pun. Burung camar penyerta bambu tersebut dipotongnya, lalu dimasak dan diambil minyaknya. Minyak burung tersebut  digosok-gosok- kannya pada serdam yang baru selesai dibuatnya itu. Empat puluh hari dan empat puluh malam serdamnya dianginkan, sesuai dengan petunjuk sang bidadari dalam mimpinya itu. Kiranya bambu itulah yang disebut orang buluh perindu, dan rupanya kehendak Tuhan, buluh perindu itu dapat saja melawan arus sungai atau disebut orang hanyut  ke  hulu. Demikian kesaktian buluh perindu itu,  menurut  cerita  orang tua-tua,  apabila buluh perindu itu ditiup, maka  suaranya sampai ke kayangan. Setelah empat puluh hari kemudian, Sutan Indah mencoba serdamnya. Maka timbullah  bermacam-macam lagu yang menyayat hati. Ketika orang sedang bekerja, terdengar alunan bunyi serdam Sutan Indah, maka berhentilah mereka bekeija, terpukau ketika  mendengarnya. Pendeknya,  siapa yang mendengar himbauan serdam Sutan Indah terlenalah ia dari pekeijaannya, sampai kepada ibu-ibu yang sedang memasak di dapur berhenti bekeija, sehingga hanguslah nasi tanakannya. Para gadis remaja yang sedang menjaga jemuran padi, lalu termenung, dan tidak diketahui mereka bahwa padinya hampir habis dimakan ayam dan itik.

Orang banyak bertanya-tanya, dari manakah  asal  bunyi serdam seperti itu. Belum pernah mereka  mendengar  bunyi serdam seindah itu. Akhirnya, orang mengetahui bahwa sedam itu adaiah milik Sutan Indah  anak Ratu  Panjang  yang tunggal itu. Lama kelamaan setiap orang mendengar bunyi serdam Sutan Indah, terbengkelailah pekerjaannya. Kalau mendengar bunyi serdam itu di malam hari terjagalah mereka dari tidurnya, terutama para bujang dan dara, timbul rasa birahi  satu dengan lain- nya, berkhayal sepanjang malam, gelisah tak  tentu  perasaan, mabuk dalam asmara. Hai ini menjengkelkan orang tua  Sutan Indah. Beberapa kali ayahnya melarang Sutan Indah meniup serdamnya itu, tetapi tidak dipedulikannya. Ketika sampai kepada puncak kemarahannya, lalu diusirnyalah Sutan  Indah.  Dengan berat hati Sutan Indah melangkahkan kakinya pada malam itu juga, tanpa setahu ibunya.

Pergilah Sutan Indah meninggalkan kampung halamannya, kedua orang tuanya, sanak saudaranya. Pergilah  ia  dengan  ser- dam buluh  perindunya, mengembara menurut langkah kakinya. Kadang-kadang naik bukit turun bukit, kadang-kadang menuruti aliran sungai yang ditemuinya. Kalau terasa penat kakinya, berhentilah ia di bawah naungan  pohon-pohonan. Sebelum memejamkan matanya, ditiupnya dahulu serdamnya. Mengalunlah lagu-lagu sedih yang memilukan hati, siapa yang mendengarnya. Alunan serdam Sutan Indah, kiranya terdengar juga sampai ke kayangan, dibawa angin lalu, sehingga  termenunglah  para  bidadari, dan ada yang ingin turun ke bumi.
Dalam pengembaraan Sutan  Indah,  tibalah ia di suatu tempat di kaki sebuah bukit. Berhentilah ia di bawah  sebatang  pohon yang rindang daunnya. Kiranya Sutan Indah berada di kaki sebuah bukit yang merupakan kaki langit alam kayangan. Di situ  sering turun para bidadari kalau akan ke bumi, dan juga tempat bermain- main setiap bulan terang. Bukit ini dijaga oleh seorang peri yang sedang beranak bayi. Setiap hari sang peri ini pergi ke  kebun di lereng bukit itu. Malam hari barulah berada di pondoknya kembali. Selama ia pergi ke kebunnya, bayinya selalu dijaga oleh seorang bidadari yang diutus dari kayangan  secara  bergiliran.  Hari  itu  yang menjaga bayi sang peri adalah giliran Krikam Manis yang  sangat cantik rupanya, jika dibandingkan dengan  yang lain. Ketika ia menjaga bayi sang peri, terdengarlah  olehnya  bunyi  serdam Sutan Indah. Termenunglah ia ketika itu dan ingin  sekali  ia  me- lihat siapa peniupnya. Katanya dalam hati, "Apakah  ini  yang disebut oleh orang tuanya buluh perindu". Dengan tidak disangka saat itu, terlepaslah sang bayi dari pangkuannya, jatuh ke dalam jurang bukit itu. Dari dalam jurang itu keluarlah api yang besar menandakan kemarahan dewata, ditambah dengan  bau  angit karena daging bayi yang terbakar.

Setelah menyadari hai ini, bingunglah Krikam Manis dan timbullah takutnya. Sudah pasti kalau sang peri kembali nanti malam, ia akan dibunuh.  Kalau  kembali ke kayangan, sudah tentu akan menerima hukuman yang  berat  Larilah  ia  dari  tempat itu jauh-jauh, menuju ke bawah, ke arah mana suara serdam  yang menyebabkan malapetaka itu. Bunyi serdam makin lama makin jelas kedengaran olehnya. Sampailah ia di suatu  tempat dekat sebatang kayu besar  lagi rimbun daunnya. Tampaklah olehnya seorang pemuda sedang  duduk di bawahnya sedang meniup serdam.

Ketika Krikam Manis berada di depan  pemuda itu, yang  tak lain dari Sutan Indah yang terusir itu, Sutan Indah  tercengang melihat Krikam Manis yang sangat cantik itu.  la merasa  tidak percaya kepada apa yang  dilihatnya,  bahwa  seorang  gadis  berada di tengah hutan, yang belum pernah didatangi  manusia.  la  teringat pula akan mimpinya pada waktu ia mendapatkan bambù hanyut dahulu.  la membandingkan  wajah  putrì  dalam  mimpinya, sama seperti wajah gadis yang berada di hadapannya  itu. Setelah lama saling berpandangan itu, berkatalah Sutan Indah, "Siapa kamu ini wahai putrì? Mengapa berada  di  sini?  Siapa  temanmu, dan apakah kamu seorang diri?" Krikam Manis  menjawab," Aku adalah seorang bidadari penjaga anak peri penunggu bukit ini. Aku lari ke sini karena aku  telah  menjatùhkan  anaknya,  karena aku lengah ketika mendengar bunyi suara buluh perindu. Mung- kinkah buluh perindu itu adalah buluh perindu yang  engkau  pe- gang itu?" "Benar tuan putii. Kalau begitu akan kubuang serdam ini." "Jangan  tuanku.  Aku  senang mendengarnya.  Coba  tuanku lagukan sebuah lagu untuk menghibur ketakutanku  ini". "Jangankan  sebuah   lagu,  lebih   dari  itu   aku  akan melagukannya".

Akhirnya kedua makhluk itu bersahabat,  pergi  bersama-sa- ma menurut kehendak langkah kaki mereka. Krikam Manis merasa mendapat perlindungan dari  seorang jejaka.   Demikian  Sutan Indah dapat melupakan kesedihannya berpisah dari  kedua  orangtua dan kampung halamannya. Sutan Indah berjanji akan selalu mehndungi Krikam Manis, dari segala bahaya. Selama pergaulan mereka, dan selama pengembaraan mereka, tak  tentu arah  tujuan,  belum  terlukis  dan   terlintas  perasaan aneh dalam diri Sutan Indah.  Tetapi  sebaliknya,  Krikam  Manis telah mempunyai rasa simpati yang mendalam, bahkan lebih  dari itu, sebagai naluri seorang gadis yang telah memiliki jiwa kemanusiaan, dan sudah melepaskan diri  dari  alam  kedewaan.  Dunia ini dirasakannya indah sekali selama  berdampingan  dengan Sutan Indah yang gagah lagi  tampan  itu.  Terlebih lagi kalau  Sutan Indah telah bersenandung dengan  buluh  perindunya  itu. Tenang dan damai rasa di hati Krikam Manis. Hilang segala ke- takutan dan kecemasan, kesedihan dan kerinduan akan alam kayangan yang telah ditinggalkannya.

Akhirnya mereka sampai pada suatu tempat, di sebuah batu yang   agak   lebar.   Di  situlah  mereka berhenti  dan  duduk beristirahat Tak jauh dari  tempat  itu,  terdapat  mata  air yang  panas, dan di hilirnya terdapat pula dua  muara  sungai yang lubuknya agak dalam. Di situlah Krikam  Manis menyejukkan  badannya. Sutan Indah mulai meniup serdamnya.  Dari lagu ke lagu, yang sulit diartikan oleh orang biasa, merupakan untaian  isi hatinya. Krikam Manis merasakan arti tiupan buluh perindu Sutan Indah itu. Tak dapat ia ungkapkan dengan kata-katanya,  hanya lewat pandangan matanya tertuju kepada Sutan Indah, seolah-olah men'gharapkan pengertian Sutan Indah.  "Marilah kita  ciptakan dunia ini seindah mungkin". Bisik hati  Krikam  Manis.  Kiranya Sutan Indah demikian pula halnya. Tetapi ia belum sanggup dan belum berani melahirkan isi hatinya yang sudah lama terpendam, sejak pertemuannya pertama sesuai pula dengan  impiannya  dahulu. Kadang-kadang ia terkenang kepada ibunya yang ia tinggalkan pada malam hari keberangkatannya dari rumah. la tidak sempat berpamit kepada  ibunya. Kadang-kadang terasa ingin " pulang menjenguk ibunya sebentar. Bagaimana Krikam Manis?  Tak mungkin dibawanya serta. la takut  kepada  ayahnya  yang  mung- kin masih dendam kepadanya. Berkatalah  ia  kepada   Krikam Manis pada suatu malam yang indah, "Adinda Krikam, aku senang sekali menyaksikan kedua benda di atas langit  pada  malam  ini. Yang satu bulan dan  yang  satu  lagi  bintang  yang  sangat  terang itu. Bila kulihat kedua benda itu, aku rindu sekali  kepada  sang bulan dan aku cinta sekali kepada sang bintang itu". "Apa maksud kekanda Sutan terhadap  kedua  benda  itu. Siapa yang  bulan  dan  siapa  yang  bintang  yang  paling  terang itu?" "Ada kau dengar lagu dalam serdamku itu Krikam?" "Betul kakanda". "Nah, adinda.  Aku merindukan ibuku, yang kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Dan aku cinta kepadamu adinda Kri- kam". Kemudian berkata kembali Sutan Indah dengan lemah lembut, "Adinda Krikam, jika adinda izinkan aku akan menemui ibuku sebentar, untuk menyampaikan berita gembira  ini  kepada ibu, bahwa aku akan  segera  menyuntingmu  adinda.  Aku  bukan tak ingin membawamu serta, tetapi aku takut kalau ayahku yang bengis itu lebih marah lagi kepadaku  dan  kepada  kita  berdua.  Aku sayang sekali  kepadamu,  jadi  lebih  baik  adinda  tinggal  di sini sebentar. Pondok ini sudah cukup kuat bagimu untuk berlindung dari gangguan binatang buas". Krikam  tidak  berkata sepatah pun. 

Keesokan harinya, Sutan Indah berangkat menuju kampung- nya. Tinggallah Krikam Manis seorang diri. Setelah sampai di kampungnya, bertemulah Sutan Indah dengan ibunya.  Ibunya sangat gembira sekali, apalagi setelah mendengar cerita Sutan Indah, bahwa ia akan menyunting seorang bidadari dari kayangan. Demikian  pula  ayahnya,  sudah  tidak marah lagi kepada  Sutan  Indah  yang  tèlah kembaU  itu.  Terle- bih lagi setelah mengetahui bahwa Sutan Indah beristeri. Malah disesalkannya mengapa Krikam Manis tidak dibawa sekali. Malam itu juga ayah Sutan Indah mengerahkan orang kam-  pung untuk menjemput Krikam Manis. Gajah mena telali disiapkannya. Obor dinyalakan. Sebanyak empat puluh orang rombongan penjemput Krikam Manis. Ibu Sutan Indah ikut juga, didampingi  Sutan  Indah.  Ayah- nya berada di muka sekali mengepalai rombongan. Ketika ayam berkokok, tibalah rombongan di hutan dekat pondok  Krikam  Manis.  Krikam  terkejut sekali melihat  nyala obor yang banyak sekali. Dari jauh kelihatan olehnya rombongan orang yang banyak itu. Timbul takutnya, apalagi  rnelihat  orang yang di depan sekali sudah tua dan besar badannya serta membawa golok.

Krikam tidak melihat Sutan Indah,  karena Sutan  Indah ma-  sih berada di belakang rombongan, karena sedang tertatih-tatih memapah ibunya. Krikam Manis menyangka orang banyak itu akan berbuat iahat kepadanya dan mungkin pula ini adalah ayah  Sutan  Indah yang akan menghukumnya. Demikian pula dikiranya bahwa Sutan Indah telah dihukum lebih dahulu oleh ayahnya. Dengan tidak berpikir panjang lagi melompatlah Krikam Manis dari pondoknya melarikan diri ke dalam hutan meneròbos kegelapan malam. Rombongan sampai di pondok Krikam  Manis,  tetapi  ia  tak ditemui lagi. Yang tinggal hanyalah secarik perca bekas sobekan selendang Krikam Manis yang tersangkut di pintu pondok, sebagai tanda bukti kebenaran Sutan Indah akan kata-katanya. Semua penjemput merasa kecewa, apalagi Sutan Indah yang merasa- kannya. Rombongan kembali ke kampung pagi itu. Sutan Indah pergi pula tak  menentu  arahnya,  untuk  mencari  Krikam  Manis. Di  suatu  tempat  dataran  tinggi  yang  luas,  Sutan  Indah  ber-  henti di bawah sebatang pohon yang rindang. Tak disadarinya serdam diangkatnya ke atas bibirnya, sambii air matanya berlinang-linang, mengalunkan rangkaian lagu kesedihan bercampur Berhari-hari lamanya kekecewaan dan kepatahan hati :

"do legau alau moi das lengat, duai legau ngan ratu panjang,
tlau legau ngan krikam manis . . . "
Lagu yang pertama ini kupersembahkan ke atas langit, untuk para Dewa, keluarga Krikam Manis dengarlah ... .
Lagu yang kedua kusampaikan kepada ibuku dan  bapakku Ratu Panjang dan lagu yang ketiga  untukmu  sayang,  di mana saja kau berada, dengarlah ... . dengarlah ... .
Demikianlah hingga saat ini bila kita mendengar bunyi serdam di malam hari, teringat akan kisah  Sutan  índah  anak tunggal Ratu Panjang, bernasib  malang.  Hingga  saat  ini  nasib Sutan Indah tiada diketahui lagi. Hanya tinggal legendanya saja berupa bukit Kaba yang berkawah. Kawahnya  terjadi  karena telah menelan anak Peri yang terjatuh  dari pangkuan  Krikam Manis. Subah Air Panas beserta kedua muara sungai di  hilirnya adalah tempat  peristirahatan Sutan Indah dan  Krikam  Manis yang sedang di dalam kegembiraannya  dahulu. Dan  menurut cerita pula, dataran bukit Seblat sebelah utara merupakan perhentian terakhir pengembaraan Sutan Indah.

logoblog

No comments:

Post a Comment