Apr 26, 2020

Alasan Siswa Berani Melawan Guru

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan sebuah kisah. Agak panjang nih kalau mau sabar membacanya. Saya menjadikan pengalaman saya ini sebagai studi kasus. Belasan tahun yang lalu, di tahun pertama saya menjadi guru, seorang siswa kelas 11 IPS mengajak teman-temannya untuk walk out dari kelas saya pada saat pelajaran berlangsung. Bayangkan 30 siswa keluar begitu saja dan guru yang mengajar dianggap tidak ada. Murid ini, sebut saja namanya Ray.

Kelas 11 IPS adalah nightmare bagi guru-guru terutama guru-guru baru. Hanya Wakil Kepala Sekolah dan guru BK saja yang berhasil mengambil hati mereka sehingga mereka menurut. Hari pertama saya masuk, tidak ada yang menyiapkan kelas, semua orang sibuk mengobrol tak peduli dengan kehadiran saya. Ketika saya menegur mereka, mereka hanya mengedikkan bahu dan lanjut mengobrol. Ketika saya mengadukan hal itu pada guru senior, saya dinasihati panjang lebar bahwa kelas itu memang rebel, dan saya harus belajar mengatasi itu. Saya tidak ditolong siapapun.

Saya mulai melihat semua masalah di kelas selalu dimulai oleh Ray. Ray seperti “ketua geng" Dia populer, disukai cewek-cewek, dikelilingi “bodyguard" dan seisi kelas tunduk pada perintahnya. Pokoknya seperti di film-film deh. Guru-guru yang lebih senior tahu bila mau kelasnya tertib, mereka harus baik dengan Ray. Tak lama kemudian, entah bagaimana muncul wacana menjadikan Ray sebagai ketua OSIS. Teman-temannya menginginkannya. Jadi Ray pun maju, lawannya adalah siswi perempuan “teladan" yang bernama Reyna. Kemudian ada satu calon lagi, siswa bernama Joy. Foto Reyna dan Joy sudah dipasang di papan pengumuman, tapi foto Ray belum. Nah, di jam pelajaran saya, seorang siswa yang baru dari toilet, memberi tahu Ray bahwa fotonya belum dipasang. Ray langsung tanpa basa-basi mengajak seisi kelas WALK OUT. Mereka keluar mengamati papan pengumuman itu, lalu nongkrong di kantin.

Saya benar-benar marah dan merasa dipermalukan. Karena semua pengaduan saya ke wakil kepala sekolah selalu berakhir dengan nasihat soal betapa saya harus lebih menguasai “pedagogi" dan “psikologi anak" saya menumpahkan kekesalan saya pada wali kelas mereka, lalu mengancam mogok mengajar. Saya guru baru waktu itu, belum ada kebijaksanaan apapun sehingga saya hanya bertindak sesuai emosi saja. Tidak ada strategi dan sebagainya. Jadilah saya mogok ngajar dan mereka “memboikot” kelas saya. Wali kelas ini pun tersulut dan mengumpulkan semua muridnya dan mengancam mereka, jika mereka tidak minta maaf pada saya, maka dia tidak akan mengisi rapor mereka. Dengan menggerutu, mereka datang ke kantor untuk minta maaf, tapi masih dengan gaya yang arogan.

Lalu lambat laun saya belajar, kelas ini memiliki kebanggaan kelompok yang kuat, sehingga jangan pernah menyerang mereka secara kelompok. Mereka harus di “single out" dan dipisah. Saya pun mencari tahu latar belakang Ray pada guru BP, saya menduga dia dari keluarga bermasalah, tapi saya tidak mendapatkan informasi se chaos apa keluarganya.

Langkah selanjutnya adalah membuat assignment agar mereka menulis refleksi kisah hidup mereka di pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka harus menulis tentang satu cuplikam hidup mereka dari sudut pandang orang ketiga. Saya tidak berharap muluk-muluk. Hanya ingin melihat sekilas saja kisah keseharian mereka. Ray langsung menyahut dia tidak suka menulis. Saya biarkan saja, tidak ambil pusing.

Tak disangka dua hari kemudian Ray membawa tulisannya, empat halaman A4 yang diketik rapi, menaruhnya di meja saya. Tulisan itu membuat saya tercenung. Ray lahir dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikahi ibunya sebagai istri ke sekian, kemudian meninggalkan mereka demi wanita lain. Ibunya depresi dan terjerat narkoba, lalu diseret oleh polisi ketika dia kelas 6 SD. Dia bersembunyi di kolong meja karena takut dibawa juga. Ibunya dipenjara. Ray “dilempar" dari tante yang satu ke tante yang lain. Tulisannya bercerita jujur tentang kesedihan dan rasa malu.

Ketika saya masuk kelas, kelas itu begitu berisik dan Ray ribut bercanda dengan teman-temannya. Saya tidak menegurnya, tapi saya panggil dan bicara empat mata dengannya pada saat jam istirahat. Hal pertama yang saya tanyakan apakah dia ada masalah di rumah ? Saya pikir dia akan nyolot, tapi dia menunduk. Lalu dengan tenang saya mengatakan bahwa saya ingin bisa berbicara dengannya seperti layaknya orang dewasa. Saya tidak perlu marah marah supaya mereka diam karena mereka bukan anak-anak lagi. Dan dia ketua osis, seorang pemimpin. Bila ada hal yang tidak mereka sukai dari cara saya mengajar, maka dengan sikap gentlemen mereka bisa mendatangi saya dan kita akan duduk mendiskusikannya. Saya tidak akan tersinggung. Tapi kalau mereka berbuat begitu di kelas, mereka sengaja tidak menghormati saya tanpa alasan yang jelas. Ray menggaruk kepalanya dan bilang dia tidak tahu mengapa dia selalu tergoda untuk membuat masalah. Saya katakan, “Stop it. Your past doesn’t define you.” Hanya karena orang tuanya bermasalah, tidak berarti dia harus bermasalah juga. “Kamu sudah 17 tahun, Ray. Bukan anak-anak lagi. Kamu bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Kamu cerdas, tidak bodoh. Punya social skill yang bagus, populer dan punya bakat memimpin. Bakat itu jangan disia-siakan untuk hal-hal yang nantinya tidak akan bermanfaat.” Mungkin kira-kira seperti itu ya. Dia diam saja.

Hari itu adalah hari terakhir dia membuat masalah di kelas. Di pertemuan selanjutnya, ketika temannya sengaja ribut atau bersikap tidak sopan terhadap saya, dia menegur mereka. Mereka mendengarkan Ray. Hingga akhir semester, saya tidak lagi gentar kalau harus masuk ke kelas 11 IPS.
Bagi saya pengalaman dengan Ray sangat berharga. Belasan tahun sesudahnya, saya tidak pernah bertemu lagi dengan murid senakal dia dan saya jadi tidak khawatir dengan murid-murid bandel lainnya. Karena tidak ada yang menandingi Ray.

Jadi, mengapa murid melawan guru ? Dari pengalaman ini, saya menyimpulkan ada tiga sisi:
Dari sisi murid:
  1. Mereka tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa tidak puas dan problem emosional mereka sehingga pelampiasannya macam-macam.
  2. Mereka punya pengalaman selalu berhasil lolos ketika mereka melakukan “test the water" apakah guru bersangkutan bisa dilawan.
  3. Mereka tidak belajar bagaimana menahan kemarahan dan menguasai diri.
  4. Mereka tidak dididik untuk menghormati orang lain
Dari sisi orang tua:
  1. Orang tua “invisible" : anak jadi mencari perhatian.
  2. Orang tua melakukan kekerasan. Anak akan meniru.
  3. Orang tua super protektif, anak merasa dia selalu benar karena orang tua akan membelanya.
Dari sisi guru:
  1. Guru tidak berhasil membangun wibawa.
  2. Guru terlalu keras sehingga tidak memahami murid. Murid jadi defensif.
Dari sisi sekolah:
  1. Sekolah gagal membangun budaya siswa yang menghormati guru.
  2. Sekolah terlalu berpihak pada murid karena mereka “membayar mahal"
  3. Sekolah gagal melindungi guru-gurunya terutama guru baru dengan tidak memberi training, mentoring atau bantuan yang diperlukan ketika muncul permasalahan dengan murid.
  4. Sekolah terlalu sedikit staffnya sehingga load kerjaan terlalu tinggi. Sehingga guru sulit berfokus pada pembinaan karakter dan sebagainya.
  5. Guru-guru tidak bersatu. Mereka menghadapi murid-murid bandel ini sendiri-sendiri. Akibatnya ada guru yang berhasil membangun wibawa, ada yang tidak.
Sekian. Semoga informasinya bisa membantu kita semua :)

logoblog

No comments:

Post a Comment