Aug 8, 2020

Utusan Arumpone Menghadap Jenderal Van Den Briek ( 1 )

Keesokan harinya, tanpa upacara resmi pelepasan pasukan kerajaan Bone berlayar menuju Makassar. Panji-panji dan sebuah  bendera kerajaan Bone di arah menuju ke perahu. Di dermaga, rombongan pasukan kerajaan Bone di antar keluarga masing-masing. puluhan perahu kecil yang ditumpangi ratusan rakyat yang bermukim dekat pantai Bajoe turut mengiringi sampai muara teluk Bone. Mereka bersorak sorai menabuh gendang dan gong, melambai-lambaikan tangan kepada pasukan kerajaan Bone yang berpakaian warna warni membalas lambaian dari atas perahu. Tidak berapa lama kemudian perahu yang membawa pasukan kerajaan Bone ke Makassar timbul-tenggelam dipermainkan gelombang. Hari mulai gelap, hanya beberapa waktu setelah muara teluk Bone.

Ketika semua layar sudah dikembangkan dan sawi sudah pada posisi masing-masing, beberapa anggota pasukan, terutama yang masih muda-muda, mulai terseram mabuk laut. Petta Sele' yang sudah terbiasa menempuh pelayaran jauh dengan perahu Phinisi Pallari seperti digunakan ini merasa tetap segar bugar. Semasa kecil,Petta Sele' sudah terbiasa berlayar dengan Phinisi Pallari  dari Barru ke Tallo dari Sidenreng ke Bone, berhari-hari mengikuti ayahnya. Tidak ada yang baru baginya. Ia juga tidak direpotkan udara dingin sepanjang perjalanan. Tiupan angin menerpa perahu yang terkadang miring ke kiri atau miring ke kanan mengikuti terpaan gelombang.

Untuk menghilangkan kebosanan, Petta Sele' mengambil alih tugas nahkoda duduk di sangkilang. Bahkan, ia turun mengambil alih fungsi sawi di anjong yang biasa terlambat mengantisipasi angin ketika harus menggulung atau menaikkan layar. Para sawi patuh mengikuti aba-abanya.

Terkadang Petta Sele' melempar canda kepada para sawi. Tetapi hanya ponggawa sawi yang berani membalas canda itu, sawi lain hanya tersenyum dari jauh memelihara jarak sambil menjalankan tugas masing-masing. Sejak dari Bajoe, melalui Bulukumba, menyusuri teluk Bone, Petta Sele' memilih selalu berada di anjungan, makan, minum, kadang tertidur. Sesuai tradisi, setiap orang yang di dalam perahu itu menjadi satu kesatuan, rasa, dan tindakan. Dalam sebuah pelayaran, semuanya harus bekerja sama dalam sebuah kekerabatan. Tidak ada satu orang pun dalam perahu itu yang harus dilayani. Apalagi tindakan yang menyakiti hati sang nahkoda ataupun sawi. Petta Sele' berusaha menarik perhatian para sawi agar tidak mengantuk dengan melemparkan dongeng tentang kehidupan di laut. Dengan yang akrab dengan kehidupan para pelaut. Dongeng tentang persaingan antara bareq atau angin barat dan timu atau angin timur. Dongeng Petta Sele' berhasil menghilangkan kantuk para sawi.

Selama perjalanan, buritan sangat membantu. Setelah sehari semalam perjalanan sama menara gedung Syahbandar Makassar terlihat dari kejauhan. Tibalah saatnya di bunyikan gendang dan gong hingga perahu mendekat ke dermaga. Ini kebiasaan dalam pelayaran jika perahu sudah mendekati daratan tujuan. Panji dan bendera kerajaan Bone diletakkan masing-masing di geladak perahu. Dari jauh, siapapun akan mengetahui bahwa iring-iringan perahu dari kerajaan Bone sudah tiba. Semua pasukan Bonek terlihat gagah dalam pakaian seragam prajurit kerajaan ketika mereka sudah berkumpul di geladak. Saat perahu merapat di dermaga, tanpa beberapa perahu dari kerajaan lain sudah lebih dahulu lego jangkar. Penghormatan dilepaskan atas perintah  Tomarilaleng, ketika perahu mulai bersandar. Pasukan Bone diterima oleh seorang perwira Belanda berpangkat mayor, didampingi oleh syabandar pelabuhan Makassar. Mereka dengan sopan mempersilahkan Tomarilaleng dan rombongan lainnya turun ke darat lalu dituntun menuju kereta yang ditarik beberapa kuda menuju Fort Rotterdam. Pasukan Bone berbaris di belakang kereta mengikuti kereta Tomarilaleng yang berjalan perlahan.

Malam harinya diadakan upacara penjamuan bertempat di kastel Betawi di Fort Rotterdam pimpinan pasukan kerajaan yang menjadi peserta parade. Petta Sele' mendampingi Tomarilaleng yang menjadi utusan Arumpone dan sekaligus sebagai pimpinan pasukan kerajaan Bone. Setiap rombongan tamu, dijemput beberapa kereta yang ditarik masing-masing seekor kuda, menuju ke Fort Rotterdam. Tetapi kereta hanya berhenti di pintu gerbang dan beberapa perwira Hindia Belanda mendampingi pimpinan rombongan kerajaan Bone masuk ke ruangan perjamuan. Upacara penyambutan diadakan oleh tomarajae gubernur Hindia Belanda. Petta Sele' melihat aura di lantai dasar Fort Rotterdam sangat semarak, dinding batu ruangan berwarna putih dipenuhi berbagai dekorasi yang berwarna orange. Lukisan para gubernur sebelumnya dipajang di sekeliling ruangan, mengapa lukisan gubernur jenderal Van Heutsz, tomarajae yang bertahta di Batavia. Setiap pimpinan rombongan berbaris menyampaikan selamat ulang tahun kepada Braam Van Morris, selain menyampaikan salam masing-masing dari raja mereka.

Petta Sele' baru pertama kali menghadiri pesta penguasa Hindia Belanda semeriah ini. Ruangan perjamuan makin gemerlap dengan kehadiran wakil-wakil kerajaan seluruh Celebes, pakaian mereka berwarna-warni. Setelah pidato gubernur mengucapkan selamat dan panjang umur untuk ratu Wilhelmina, para tamu dijamu berbagai minuman dan santapan malam yang banyak berbahan kentang dan keju. Setelah perjamuan selesai setiap rombongan pasukan kembali ke penginapan.

Keesokan harinya, pasukan kerajaan Bone mengikuti parade dengan membawa Panji dan bendera kerajaan Bone. Kontingen pasukan kerajaan Bone ditempatkan di samping kolonel pasukan Belanda dari garnisun inlander dan marsose. Baru pasukan kerajaan Bone tiba di arena parade yang diberi tanda bendera kerajaan Bone, pasukan kerajaan Bone, Petta Sele' agak kaget disapa oleh perwira itu, tetapi ketika ia berpaling, Petta Sele' mengenali wajah perwira itu. Dia adalah letnan Van den Briek, komandan pasukan inlander dan marsose.perwira Belanda yang masih muda itu dia kenal ketika ia beberapa minggu berada di medan perang Labbakang. Petra Selesalah seorang anggota pasukan kerajaan Bone yang ketika itu masih dipimpin oleh Lapawawoi yang telah menjadi Arumpone sekarang. Ketika itu la pawawoi masih menjadi panglima angkatan perang Bone bergelar Petta Ponggawae. Sementara Van den Briek memimpin salah satu peleton pasukan garnizun Hindia Belanda. Pasukan kerajaan Bone sebagai sekutu Hindia Belanda ikut berperang membantu pasukan Hindia Belanda. Tidak ada pertempuran berarti ketika itu karena raja Labbakkang dengan cepat meminta diadakan perdamaian.

Petta Sele' menghampiri letnan Van Den Briek dan menjabat tangannya. mereka berdua tertawa disaksikan dengan wajah keheranan oleh anggota pasukan masing-masing. Parade pagi ini tidak memerlukan waktu yang lama. Lebih lama mengatur formasi pasukan daripada seluruh rangkaian upacara. Setelah pidato Tomarajae gubernur Hindia Belanda yang panjang, dengan sebuah aba-aba, semua pasukan memberikan penghormatan kepada panji kerajaan Belanda. kemudian sebuah barisan musik menyanyikan lagu wilhelmus. Semua pasukan Belanda ikut bernyanyi:
Den Vanderland ghetrouwe....
Blijk in de doedt…

Sebelum pasukan dibubarkan, komandan upacara menerapkan: "Hiep…  hiep …" lalu dijawab oleh pasukan Hindia  Belanda yang berparade: "Hurra…. hiep….hiep....Hurra…." diteriakkan tiga kali penuh kegembiraan. Setelah selesai upacara, Petta Sele' menghampiri dan bercakap-cakap sejenak dengan letnan Van Den Briek. Perwira Belanda itu menyampaikan kekaguuman atas keserasian pakaian seragam pasukan kerajaan Bone. Ketika akan berpisah, letnan Van Den Briek mengundang Petta Sele' berkunjung ke tempatnya, di tangsi pasukan inlander di kampung baru. Petta Sele' berjanji akan menemui letnan Van Den Briek.

Sesudah upacara itu, pasukan Bone memang masih tinggal dua hari di Makassar titik pasukan diberi kesempatan berkunjung ke anggota keluarga mereka yang tinggal di Bontoala, sebuah perkampungan kaum pendatang yang berasal dari Bone. Raja Bone Arung Palakka, Petta Malampee Gemmena, dulu mendirikan istana di Bontoala setelah berhijrah dari Bone ke Makassar. Sejak itu,di kampung Bontoala bermukim ratusan keluarga masyarakat Bone. Mereka tidak pulang lagi ke Bone setelah raja Bone Arung Palakka mangkat. Maka setelah istana Bontoala dihancurkan oleh pasukan Inggris, yang pernah merebut kekuasaan dari Hindia Belanda pada tahun 1814, sejumlah pengikut Arung Palakka dari Bone tetap bermukim di kampung Bontoala. 
logoblog

No comments:

Post a Comment